Kritik Terhadap Kaum Post Marxist (Selesai)

Oleh: James Petras

Foto: www.landasanteori.com/
PERJUANGAN KELAS DAN KERJA SAMA

Berulang kali kaum Post Marxis menulis tentang konsep "kerja sama" bagi semua orang, tidak peduli di mana pun mereka berada tanpa memperhitungkan besarnya biaya sosial yang akan dihabiskan dalam kerja sama di tengah rejim neo-liberal dan dominasi lemba-ga donor internasional. Mereka melihat perjuangan kelas hanyalah sebagai nostalgia masa lalu yang sudah tidak relevan lagi. Mereka mengatakan sudah muak dengan politik kuno, ideologi dan para politikus.

Dilihat dari kulit luarnya mereka punya pendapat yang benar, mereka bisa dianggap benar karena mereka kaum post Marxis berhasil menyembunyikan peran mereka sebagai mediator ataupun calo dari lembaga donor internasional dan berlomba-lomba untuk memajukan proposal yang bisa diterima oleh pendana mereka di luar negeri. Para pebisnis "yayasan kemanusiaan" di luar negeri yang menjadi mitra mereka, sebenarnya justru berhubungan dengan para calo neo-liberal; mereka memang memberikan training kepada sejumlah wanita miskin tapi untuk dipekerjakan pada perusahaan skala kecil yang mereka dirikan sendiri, yang mana perusahaan kecil itu merupakan sub-kontraktor dari perusahaan eksportir yang lebih besar.

Politik dari para kaum post Marxis adalah politik "komprador", mereka tidak menghasilkan produk apapun yang bisa dimasukkan dalam produksi nasional, justru mereka mencoba menghubungankan lembaga donor mereka dengan buruh-buruh secara langsung, untuk melicinkan lajunya neo-liberalisme. Dalam hal ini, kaum post Marxis yang menjadi manajer sejumlah LSM adalah aktor politik paling utama atas training, workshop yang tidak memberikan kontribusi ekonomi apapun, baik menyumbang untuk Produk Nasional Bruto (GNP) maupun mengurangi angka kemiskinan. Kegiatan mereka hanya bisa memecah belah rakyat dari perjuangan kelas ke arah gerakan yang moderat dan tidak efektif, sebuah bentuk gerakan yang berkolaborasi dengan para penindas.

Dalam perspektif Marxis, perjuangan kelas dan konfrontasi terhadap borjuasi harus dibangun atas dasar kesadaran adanya pembagian kelas dalam masyarakat : antara orang-orang yang sibuk bermain tingkat keuntungan saham, nilai suku bunga, nilai sewa ataupun jumlah pajak dan orang-orang yang harus berjuang untuk meningkatkan gaji mereka, investasi produksi dan jaminan sosial. Pandangan post Marxis telah membuah-kan hasil dan bisa kita lihat di mana-mana seperti konsentrasi pendapatan di tangan segelintir orang dan meningkatnya jurang perbedaan kaya-miskin semakin besar dibanding sepuluh tahun yang lalu, semua itu terjadi setelah mereka sibuk dengan konsep " kerjasama" dan "kemandirian" ataupun "usaha kecil". Saat ini bank seperti Inter American Development Bank (IDB) memberi dana kepada perusahaan ekspor agrobisnis yang menindas dan meracuni jutaan petani dan buruh di perkebunan besar, di sisi lain bank ini justru memberikan pendanaan kepada proyek-proyek LSM yang memposisikan dirinya membela para petani dan buruh yang tertindas tersebut. Justru peran kaum Post Marxis dengan LSM telah menetralisir perjuangan politik di tingkatan massa dalam melawan kebijakan neoliberal yang dilancarkan oleh para petinggi dan politikus.

Ideologi "cooperation" (kerja sama/gotong royong) justru dipakai untuk menghubungkan kaum miskin dengan kaum Post Marxis sebagai fasilitator menuju para pejabat di tingkat atas yang merupakan arstitek neo-liberalisme. Secara intelektual, kita bisa mengkategorikan kaum post Marxis sebagai polisi intelektual yang bisa menentukan proyek penelitian mana yang bisa diterima, membagikan dana untuk proyek penelitian tertentu, menyaring topik penelitian dari diskusi tentang perjuangan kelas dan perspektif perjuangan politik, dengan alasan yang dibuat-buat. Kaum Marxis selalu disingkirkan oleh mereka dalam konferensi ataupun seminar-seminar akademik dengan alasan forum akademik yang obyektif tidak bisa menerima para ideolog, sementara kaum post marxis sendiri ditempatkan sebagai akademisi ataupun peneliti sosial yang independen.

Kontrol mereka atas fasilitas intelektual, publikasi dan penerbitan, seminar-seminar dan konferensi serta pendanaan penelitian-penelitian telah memberikan kaum post-marxis kekuatan yang berarti, akan tetapi di sisi lain mereka justru jadi tergantung pada pendana mereka, dan berusaha sekeras mungkin menghindari konflik dengan funding agencies mereka.

Kritik-kritik yang dilancarkan oleh intelektual Marxis memiliki keunggulan tersendiri dalam menjelaskan dinamika dan perkembangan sosial. Secara taktis kaum marxis memang lemah, tapi secara strategis mereka jauh lebih kuat dibandingkan kaum post marxis.

APAKAH GERAKAN ANTI IMPERIALISME SUDAH TAMAT?

Dalam beberapa tahun terakhir gerakan anti imperialisme sudah menghilang dari panggung politik kaum marxis. Para bekas gerilyawan di Amerika Tengah telah berubah menjadi politikus yang hanya sibuk memikirkan Pemilu, dan para manajer LSM masih terus sibuk bicara di forum internasional tentang konsep mereka. Orang-orang miskin di Amerika Latin semakin dibebani hutang yang disalurkan oleh bank-bank Amerika, Jepang dan Uni-Eropa. Perusahaan-perusahaan milik negara, fasilitas umum, bank-bank dan kekayaan alam sudah terjual dengan harga murah ke tangan perusahaan Amerika, Eropa dan multinasional lainnya. Pada saat yang sama muncul pula generasi jutawan baru di Amerika Latin yang mempunyai simpanan di bank-bank Amerika dan Eropa. Amerika-Serikat memiliki lebih banyak penasehat militer untuk daerah Amerika Latin, petugas anti-narkotik, ataupun polisi federal yang ditujukan langsung untuk mengawasi Amerika Latin. Menurut cerita dari beberapa orang bekas Sandinista dan bekas Farabundistas bahwa semangat anti imperialisme telah luntur sejak perang dingin berakhir. Masalahnya bukan karena investasi asing maupun bantuan asing tidak mengalir lagi, tapi karena mereka gagal memahami bahwa investasi asing tersebut justru mengurangi upah buruh, menghancurkan sistem jaminan sosial dan merubah Amerika Latin menjadi ladang pertanian raksasa, lahan pertambangan raksasa dan daerah pasar bebas yang tidak memperdulikan kedaulatan bangsa, hak azasi manusia dan nasib jutaan orang.

Kaum Marxis menekankan bahwa eksploitasi oleh kaum imperialis berakar dari hubungan produksi yang berkaitan dengan hubungan multilateral antara negara imperialis dengan negara kapitalis yang tergantung pada mereka. Ambruknya Uni Soviet telah melempangkan jalan bagi kaum imperialis untuk melanjutkan eksploitasi mereka. Kaum Post Marxis dan bekas Marxis yang percaya bahwa dunia yang damai akan tercipta dengan "cooperation" tidak mampu mengerti akan intervensi Amerika Serikat di Panama, Irak, Somalia dan beberapa negara lainnya. Dinamika imperialisme justru lebih berhubungan dengan dinamika internal modal sendiri dibanding dengan dinamika persaingan mereka dengan Uni Soviet. Delapan tahun sejak runtuhnya Uni Soviet, perekonomian Amerika Latin telah kembali seperti saat mereka masih dijajah ratusan tahun yang lalu.

Perjuangan anti imperialisme dewasa ini perlu melibatkan rekonstruksi tentang konsep bangsa, pasar domestik, dan produksi ekonomis dan hubungan kelas buruh dengan produksi sosial dan konsumsi.

DUA PERSPEKTIF PERUBAHAN SOSIAL: ORGANISASI KELAS DAN LSM

Untuk meningkatkan mutu perjuangan anti imperialisme dan perjuangan melawan komprador baru dari dalam negeri, kita harus melampaui perdebatan ideologis dan kultural dalam tubuh kaum post Marxis sendiri dan juga gerakan rakyat.

Dewasa ini neo-liberalisme beroperasi di dua lini yaitu ekonomi dan budaya politik, dan neo-liberalisme juga beroperasi di dua level yaitu tingkatan rejim dan tingkatan rakyat kelas bawah. Pada tingkatan atas neo-liberalisme, kebijakan neo-liberal dikemas dan diterapkan melalui agen-agen yang sudah mapan seperti Bank Dunia, IMF dengan bekerja sama dengan pemerintahan di Washington, Bonn dan Tokyo dan mengikut- sertakan rejim-rejim neo-liberal dan para eksportir besar, konglomerat besar dan bankir bankir ternama.

Pada awal tahun 80-an, beberapa pihak rejim neo-liberal mulai menyadari bahwa kebijakan mereka telah menciptakan polarisasi di kalangan massa dan menciptakan keresahan sosial yang berkepanjangan. Rejim neo-liberal pun mulai membiayai dan mempromosikan strategi paralel yang berasal dari arus bawah, promosi organisasi grass root, dan organisasi dengan ideologi anti State (negara) serta organisasi ini dipakai untuk masuk ke daerah-daerah potensial konflik, dengan tujuan menciptakan sosok "malaikat penyelamat". Jelas bahwa organisasi tersebut sangat tergantung pada sumber dana dari rejim neo-liberal dan akan terlibat secara langsung dalam persaingan dengan gerakan sosio politik lainnya untuk merebut kepemimpinan di tingkatan massa dan aktivis lokal. Pada akhir tahun 1990-an organisasi seperti ini digambarkan sebagai "ornop" (organisasi non pemerintah), berjumlah ribuan dan menerima uang sekitar 4 milyar dollar AS dari berbagai penjuru dunia.

Banyak orang yang bingung untuk memahami karakter NGO/LSM. Untuk memahami ini kita harus melihat ke belakang dari sejarah mereka di tahun 70-an ketika pemerintahan otoriter masih bercokol dengan kuat. Pada masa kediktatoran mereka sibuk memberikan bantuan kemanusiaan untuk menolong korban penindasan rejim militer dan mengecam pelanggaran hak asasi manusia. Pada masa ini LSM masih dipandang sebagai mitra bagi kekuatan kiri revolusioner, bahkan LSM pun dikategorikan sebagai kelompok progresif. Dalam tahap berikutnya mulai kelihatan batasan-batasan yang dimiliki oleh LSM, ketika mereka mengecam pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh rejim otoriter waktu itu, mereka seakan- akan melupakan pelanggaran hak asasi patron mereka yaitu Amerika dan Uni Eropa yang telah berjasa memberikan uang kepada mereka. Jadi dengan kata lain, kekuatan asing yang mendanai mereka telah membatasi ruang gerak kritik dan aksi mereka untuk membela hak asasi manusia.

Ketika semakin banyak orang yang menentang kebijakan neo liberal di awal tahun 80-an, Amerika Serikat dan Eropa serta Bank Dunia justru meningkatkan bantuan dana yang diberikan kepada LSM. Jadi ada hubungan antara bangkitnya gerakan anti neo-liberalisme dan usaha untuk menghacurkan itu dengan cara menciptakan bentuk aksi sosial yang baru melalui LSM -LSM yang menjamur seperti di musim hujan. Dasar utama kerjasama di antara LSM dan Bank Dunia adalah mereka mempunyai musuh yang sama yakni "konsep peran negara" (statism). Kalau kaum Post Marxis mengkritik peran negara dari perspektif bahwa yang penting adalah membangun masyarakat sipil (civil society), sementara itu dari sayap kanan serangan dilancarkan atas nama kepentingan pasar (market). Pada kenyataannya, Bank Dunia, rejim neo-liberal dan lembaga donor internasional justru mengkooptasi dan mendorong LSM untuk melupakan konsep negara kesejahteraan (welfare state) dengan menyalurkan jasa pelayanan sosial bagi kompen-sasi korban dari perusahaan multinasional. Dengan kata lain, rejim neo-liberal pada tingkatan atas (pusat) bekerja untuk menghancurkan masyarakat dengan membanjiri negara dunia ketiga dengan impor mereka, hutang luar negeri ataupun kredit lunak dan menghapuskan kebijakan perburuhan yang demokratis, menciptakan jumlah tenaga kerja murah dan pengangguran. Di sisi lain LSM didorong untuk memberikan pendidikan dan training, proyek berdikari dan kemandirian, mengkooptasi pemimpin lokal dan meng-hancurkan perjuangan kelas.

LSM telah menjadi bagian dari masyarakat neo liberal, dan jelas berhubungan dengan para petinggi neo-liberal dan mempersenjatai dirinya dengan kerja mereka yang destruktif di tingkatan bawah. Jelasnya, neo liberal mempunyai senjata berupa pisau bermata dua. Sayangnya, kebanyakan kaum kiri revolusioner hanya memfokuskan pada kaum neo liberal yang muncul dari atas dan luar negeri yaitu IMF dan Bank Dunia dan banyak kaum revolusioner yang melupakan neo liberalisme dari dalam dan dari bawah seperti LSM dan koperasi pengusaha kecil. Kegagalan mereka melihat ini adalah karena banyaknya bekas Marxis yang masuk ke LSM dan terjun di LSM. Post Marxis adalah ideologi, sementara community development sebagai tiket dari politik kelas menuju "pengembangan komunitas" , dari Marxis ke LSM.

Ketika neo liberalisme berusaha memindahkan atau mengalihkan badan usaha milik negara dan asset negara ke tangan swasta asing, LSM tidak pernah terlibat dalam perjuangan buruh melawan kebijakan ini, ataupun mencoba mengkritik. Sebaliknya mereka aktif di proyek proyek swasta kecil, mempromosikan usaha wiraswasta di tingkatan daerah dengan memfokuskan pada usaha koperasi kecil. LSM berusaha membangun jembatan penghubung antara kapitalis kecil dengan pengusaha besar yang memonopoli proses swastanisasi asset nasional dan asset publik, semuanya diatas namakan kepentingan masyarakat sipil dan mengurangi peran negara. Ketika kaum kapitalis menumpuk modalnya serta membangun kerajaan bisnis mereka melalui proses swastanisasi , kelompok LSM pun kebagian keuntungan dengan mendapatkan sedikit bagian dari keuntungan itu untuk membiayai kantor mereka, uang transport, kompu-terisasi, seminar-seminar dan usaha kecil-kecilan. Hal yang paling penting untuk dicatat adalah peran LSM dalam mendepolitisasi sektor rakyat, menghancurkan peran pegawai negeri yang melayani kepentingan umum, dan mengkooptasi para pemimpin yang ber-potensi dari proyek-proyek mereka. LSM tidak pernah turun membela para guru yang melawan kebijakan neo liberal yang memangkas anggaran pendidikan. Bisa dihitung dengan jari berapa kali LSM mendukung pemogokan buruh dan protes menentang upah rendah dan pemotongan anggaran untuk sektor publik. Karena anggaran pendidikan mereka didanai oleh pemerintahan neo liberal, mereka menolak memberikan solidaritas kepada para tenaga pendidik yang berjuang melawan pemerintah.

Pada prakteknya, LSM atau ornop adalah organisasi yang pro pemerintah. Mereka menerima anggaran dari pemerintah asing, dan bekerja sebagai sub-kontraktor bagi pemerintahan mereka sendiri. Sering sekali mereka bekerja sama dengan lembaga pemerintahan di dalam negeri maupun luar negri . Sub-kontrak yang mereka lakukan te-lah mengubah mereka menjadi sekelompok profesional yang pro bisnis. LSM tidak mampu memberikan program komprehensif untuk jangka waktu panjang seperti yang disediakan oleh negara kesejahteraan, hasil nyata yang dapat mereka berikan hanyalah pelayanan kepada sekolompok kecil orang di daerah tertentu saja. Yang terpenting program mereka dianggap layak jual bagi lembaga donor internasional, tidak penting nilainya di mata masyarakat yang mereka jadikan obyek. Dalam kasus ini LSM telah menghancurkan nilai-nilai demokrasi dengan mengambil alih semua program sosial ke tangan mereka dari rakyat dan mereka memilih pegawai dan pengurus yayasan tanpa melibatkan massa rakyat yang mereka jadikan obyek, jadi mereka mengangkat sekelompok orang yang tergantung pada kebijakan lembaga donor internasional.

LSM mengalihkan perhatian rakyat dari perjuangan melawan anggaran pendapat-an dan belanja nasional demi melanggengkan anggaran yang disediakan untuk mereka. Sikap ini telah memberikan ruang gerak bagi kaum neo liberal untuk memotong anggaran subsidi sektor publik dan mengalihkannya untuk membayar hutang bank-bank besar maupun hutang para eksportir. Para kaum miskin membayar pajak kepada negara dan tidak memperoleh apa-apa, kelas buruh harus bekerja lembur tanpa dibayar, mereka menjadi obyek penelitian bagi LSM dan tidak pernah dibela oleh LSM. Ideologi kaum LSM adalah "aktifitas sukarela untuk kepentingan sendiri" (private voluntary acitivity)", ideologi ini seakan-akan mengingkari peran pemerintah yang mempunyai kewajiban untuk memelihara warga negara dan memberikan jaminan hidup yang layak, kebebasan dan jaminan atas kebahagian mereka. Yang dikampanyekan oleh kaum LSM adalah ide kaum neo liberal bahwa tanggung jawab pribadi untuk memecahkan masalah sosial dan pentingnya kemampuan masing masing pribadi untuk memecahkan masalah sosial. Jadi mereka melipat gandakan penindasan pada kaum miskin, sudah dipaksa membayar pajak untuk membiayai proyek rejim neo liberal yang mana pajak itu hanya dipakai melayani kepentingan si kaya, disuruh pula memenuhi sendiri kebutuhan dasarnya sebagai warga negara.

LSM DAN GERAKAN SOSIAL POLITIK

LSM menekankan pada proyek-proyek yang tidak berorientasi aksi dan masuk dalam konteks gerakan masssa. Mereka hanya memobilisasi orang-orang pada tingkatan paling rendah dan bukan untuk perjuangan yang memberi mereka kesempatan mengontrol basis produksi dan kekayaan. Mereka hanya memfokuskan pada bantuan finansial secara teknis kepada orang miskin dan tidak melihat permasalahannya secara struktural dan mereka tidak mampu memberikan perubahan yang berarti bagi kehidupan rakyat miskin yang menjadi obyek mereka. LSM mencuri terminologi kaum kiri revolusioner yaitu "people power", pemberdayaan, persamaan hak (gender equality), dan arus bawah (bottom up leadership). Mereka telah mencuri istilah-istilah dan memakainya dalam kerangka kolaborasi dengan negara donor dan lembaga pemerintah yang telah mensubordinasi mereka. Mereka selalu mengatakan bahwa semangat kegiatan dan aktifitas mereka adalah "pemberdayaan" yang tidak pernah mampu memberdayakan sekelompok kecil masyarakat di lingkungan tertentu dengan sejumlah dana dan tenaga yang terbatas.

LSM dan para manajer post Marxis mereka tenggelam dalam persaingan antar mereka sendiri untuk melakukan aktifitas sosial politik yang bertujuan untuk memberikan pengaruh di antara kaum miskin, wanita dan kaum kulit berwarna. Ideologi mereka jauh dari sumber masalah dan jalan keluar dari kemiskinan yang menjadi obyek penelitian mereka. Mereka selalu mendengung-dengungkan usaha-usaha kecil ( micro enterprises) sebagai jalan keluar, tanpa memperhitungkan eksploitasi oleh Bank Dunia. Di sisi lain, bantuan mereka juga menciptakan masalah di tengah masyrakat yang terbuai dengan bantuan-bantuan dan janji -janji muluk LSM, muncul persaingan di antara masyarakat juga untuk mencari simpati dari LSM dan melupakan solidaritas kelas di antara mereka sendiri. Hal yang sama juga terjadi dikalangan LSM dimana masing-masing kelompok berlomba-lomba untuk mendirikan LSM untuk mendapatkan dana dari luar negri. Ketika pada suatu saat proyek-proyek LSM ini menyurut karena mereka kehabisan ide atau masalah internal lainnya, para lembaga donor justru mengalihkan pendanaan mereka kepada LSM yang jelas-jelas bekerja sama dengan pemerintah, dan mendesakkan kebijakan neo liberal dijalankan melalui LSM tersebut.

Strategi Pemilu yang menjadi senjata utama kaum post marxis justru memberikan peluang kepada partai politik yang disponsori oleh kaum neo-liberal dan media massa borjuis. Pendidikan politik tentang imperialisme dan hubungan kelas antara pemilik modal dan buruh sama sekali tidak menjadi agenda mereka. Mereka mengkooptasikan kaum miskin kepada agenda neo liberal dengan menekankan konsep kemandirian, mereka menciptakan dunia politik yang mana solidaritas dan aksi sosial perlu dibicarakan terlebih dahulu dengan lembaga donor internasional dan struktur aparatus negara.

Bukan kebetulan kalau LSM menjadi dominan dan tumbuh subur di beberapa negara di mana aksi perjuangan kelasnya sedang menurun dan rejim neo liberal sedang melaju dengan kencangnya. Jelasnya laju pertumbuhan sejumlah LSM ditentukan oleh meningkatnya pendanaan dari luar negeri yaitu rejim neo-liberal dan meningkatnya angka kemiskinan di sebuah negara. Di sisi lain gerakan kiri revolusioner sedang mengalami kemunduran di mana banyak para gerilyawan dan aktifis kiri revolusioner, aktifis buruh, organisasi wanita rakyat telah dikooptasi oleh LSM. Mereka telah ditawari gaji yang tinggi, kedudukan dan jaminan dari lembaga donor internasional dan undangan di konferensi interansional dan jaminan tidak akan ditangkap dan disiksa oleh militer. Hal itu berbanding terbalik dengan gerakan sosial politik yang hanya mendapatkan sejumlah kecil keutungan material tapi mendapatkan respek yang besar dan idenpendensi serta yang lebih penting adalah kemerdekaan, kebebasan untuk menentang sistem ekonomi dan politik neo liberal. LSM dan bank-bank multinasional pendukung mereka sering mempublikasikan newsleter yang menceritakan tentang kesuksesan dari koperasi usaha kecil dan konsep kemandirian mereka, tanpa mereka menyebutkan tingginya suku bunga, rendahnya daya konsumsi masyarakat serta impor yang membanjiri pasar dalam negeri, seperti kasus Mexico saat ini.

Mungkin kesuksesan mereka benar-benar nyata, tapi itu hanya berlaku bagi sebagian kecil kelompok orang miskin. Meningkatnya angka kejahatan dan kekerasan di daerah-daerah kerja mereka merupakan indikasi bahwa LSM belum berhasil meng-gantikan gerakan sosial politik yang independen.

Akhir kata, LSM merupakan bentuk baru dari penjajahan di bidang ekonomi dan kultural serta ketergantungan gaya baru. Proyek-proyek mereka didesain atau paling tidak ditentukan secara garis besar oleh lembaga donor internasional mereka. Mereka diurus dan dijaga oleh lembaga donor mereka dan dijual kepada rakyat. Evaluasi kerja mereka juga dilakukan oleh lembaga donor tersebut.

Ketika sudah jelas bahwa LSM adalah instrumen dari rejim neo-liberal, masih ada sekelompok kecil orang yang mencoba memberikan alternatif yaitu perjuangan kelas dan politik anti imperialisme. Tidak ada satupun dari mereka yang menerima dana bantuan dari funding agency, dari pemerintah Amerika, Eropa maupun Bank Dunia. Mereka beru-saha menghubungkan kekuatan lokal ke arah perjuangan kelas melawan kekuasaan ne-gara. Mereka memberikan solidaritas politik kepada gerakan sosial yang terlibat dalam perjuangan kelas di berbagai sektor. Mereka mendukung perjuangan kaum wanita me-menangkan prespektif kelas. Mereka percaya bahwa organisasi lokal harus dibawa ke arah perjuangan nasional dan kepemimpinan nasional harus dibisa diterima oleh aktivis di tingkat bawah.

29 Februari, 2008

PEMBEBASAN Bandung

Mari Berteman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar