Kritik Terhadap Kaum Post Marxist (Bag.1)

Oleh James Petras
James Petras adalah seorang Profesor Sosiologi di Universitas Binghampton, New York, Amerika Serikat. Tulisan-tulisannya banyak mengupas soal politik dan pengalaman praktek gerakan revolusioner di Amerika Latin. Ia juga seorang contributing editor di Jurnal LINKS, International Journal of Socialist Renewal. Foto: Google.com


Post-Marxisme memang sedang menjadi trend di kalangan kaum intelektual setelah kemenangan neo-liberalisme dan kemunduran kaum kelas pekerja. Ruang politik yang dikosongkan oleh kaum kiri reformis (di Amerika Latin) kini telah diambil alih oleh politisi dan ideolog kapitalis, teknokrat serta kelompok-kelompok gereja fundamentalis dan tradisional (Pantekosta dan Vatikan). Sebelumnyaya ruang ini diisi oleh kaum sosialis, nasionalis dan politikus populis serta aktivis-aktivis gereja yang berafiliasi pada teologi pembebasan. Kaum kiri-tengah sangat berpengaruh dalam politik rejim penguasa (di atas) atau di kalangan massa rakyat yang kurang politis (di bawah). Ruang kosong yang tadinya dikuasai kiri radikal kini digantikan oleh intelektual politik, dan sektor- sektor yang telah menjadi politis seperti serikat buruh, kaum miskin kota dan gerakan sosial di perkotaan. Di kalangan grup-grup inilah perdebatan dan konflik antara marxime dan post-marxisme menjadi sangat intens pada saat-saat itu.

Diasuh, dan dalam banyak kasus disubsidi oleh lembaga-lembaga dana penting dan lembaga-lembaga pemerintah yag mempromosikan neo-liberalisme, sejumlah besar organisasi-organisasi "sosial" telah tumbuh dan berkembang membawa ideologi, jaringan-jaringan dan praktek-prekatek yang secara langsung berkompetisi dan berkonflik berha-dapan dengan teori dan praktek marxis. Organisasi-organsiasi ini - dalam banyak kasus memunculkan diri mereka sebagai Non-Govermental Organization (NGO/LSM) atau lembaga-lembaga serta pusat penelitian independen - menjadi aktif memajukan ideologi dan praktek-praktek politik yang dapat sesuai dengan agenda neo-liberal dari patron-patron pendananya. Tulisan di bawah ini akan menggambarkan dan sekaligus mengkritik setiap komponen dari ideologi mereka dan kembali memblejeti aktivitas-aktivitas kaum neo-liberal, sekaligus membandingkan dengan gerakan dan pendekatan yang berbasiskan kelas. Setelah itu akan diikuti dengan diskusi tentang asal-usul blok post-marxisme, evolusinya dan masa depannya sehubungan dengan kemunduran dan kemungkinan kembalinya marxisme.


KOMPONEN-KOMPONEN POST-MARXISME

Kaum post marxisme sebenarnya berasal dari kaum eks-marxis yang berangkat dari kritik terhadap marxisme dan mengelaborasikan beberapa poin di dalam kritik-kritiknya untuk menjadi sebuah landasan penemuan teori-teori alternatif atau paling tidak sebagai garis analisa yang masuk akal. Mari kita melihat sepuluh argumentasi dasar yang biasa ditemukan dalam diskursus-diskursus post marxime:

1. Sosialisme adalah sebuah kegagalan dan semua teori kemasyarakatan secara umum menyalahkan jika ada yang hendak mengulanginya lagi. Ideologi-ideologi adalah sesuatu yang salah! (kecuali Post-marxisme!), karena ideologi merefleksikan sebuah dunia pemikiran yang didominasi oleh satu sistim gender/ras.

2. Penekanan Marxis pada kelas-kelas sosial adalah "reduksionis" karena kelas-kelas membaur; Hal yang terpenting adalah pendekatan kebudayaan dan berakar pada perbedaan identitas (ras, gender,etnik, seksuil).

3. Negara adalah musuh demokrasi dan kebebasan. Negara adalah lambang bentuk-bentuk yang korup dan tidak efisien yang menggerogoti kesejahteraan sosial. Masyarakat sipil adalah pelaku utama demokrasi dan perubahan sosial.

4. Perencanaan terpusat mendatangkan dan menghasilkan birokasi yang menghalangi pertukaran barang antara para produsen. Pasar dan pertukaran pasar adalah mungkin dengan aturan-aturan yang terbatas, dapat membuat konsumsi yang lebih besar dan distribusi yang lebih efisien.

5. Perjuangan kiri tradisional adalah korup dan menghasilkan rejim-rejim yang otori-ter yang kemudian mengsubordinasikan masyarakat sipil. Perjuangan lokal dengan mem-bawa isu lokal oleh organisasi lokal merupakan satu-satunya jalan bagi perjuangan demo-kratik untuk perubahan, dengan menggunakan petisi atau tekanan pada penguasa-pe-nguasa nasional dan internasional.

6. Revolusi selalu berakhir dengan buruk atau tidak mungkin bisa berhasil, perubahan sosial akan memperkuat reaksi provokatif dari penguasa. Alternatifnya adalah dengan berjuang mengkonsolidasikan transisi demokratis untuk menyelamatkan proses pemilihan umum (jalan parlementarian).

7. Solidaritas kelas adalah bagian dari ideologi-ideologi masa lalu, yang mencermin-kan politik dan realitas masa lalu. Kelas-kelas sudah tidak ada lagi. Bentuk yang ada ialah fragmen-fragmen penduduk daerah dimana grup-grup (identitas) tertentu dan daerah mengusahakan self-help (kemandirian) dan saling hubungan untuk survive berbasiskan pada kerja sama dengan pendukung dari luar. Solidaritas adalah sebuah fenomena persilangan kelas, adalah gerak/gestur kemanusianan semata.

8. Perjuangan kelas dan konfrontasi tidak menghasilkan sesuatu yang nyata. Hanya akan menyebabkan kekalahan dan kegagalan. Lembaga-lembaga kerjasama internasi-onal dan lembaga milik pemerintah dengan proyek-proyeknya yang khusus akan menghasilkan kemajuan produksi.

9. Anti-imperialisme juga merupakan milik masa lalu yang sudah waktunya mati. Dalam ekonomi global yang terjadi saat ini, tidaklah mungkin untuk menyerang pusat-pusat ekonomi dunia. Dunia sudah berkembang secara saling tergantung dan dalam dunia ini dibutuhkan kerja sama internasional yang lebih besar lagi dalam mentransfer kapital dan teknologi serta saling memahami antara negara-negara kaya dengan negara-negara miskin.

10. Pimpinan-pimpinan dari organisasi-organisasi kerakyatan tidak boleh tertutup da-lam mengorganisir orang-orang miskin dan melakukan saling belajar serta tukar pengalaman. Mobilisasi internal harus berbasiskan pendanaan eksternal. Kaum profesional harus memproduksi desain-desain program dan mengamankan keuangan eksternal untuk dapat mengorganisir grup-grup lokal. Tanpa bantuan dari luar grup-grup lokal dan kaum profesional akan gagal dan hancur.

KRITIK TERHADAP IDEOLOGI POST-MARXIS

Jadi, demikianlah analisa, kritik, dan strategi pembangunan ideologi post-marxis, sebagai sebuah ideologi untuk menyerang diskusi-diskusi marxisme. Lebih dari itu, menurut mereka, marxisme adalah ideologi yang gagal mengidentifikasi krisis-krisis yang terjadi dalam kapitalisme. Stagnasi berkepanjangan (prolonged stagnation) dan kepanikan moneter yang terjadi secara periodik (periodic financial panic) serta kontradiksi sosial (in-equalities/ketidaksederajatan dan social polarisation/polarisasi sosial) pada tingkat nasional dan internasional yang bersentuhan dengan problem sosial daerah (lokal) menjadi fokus mereka. Contohnya, asal-usul neo-liberalisme merupakan produk dari konflik kelas. Sektor-sektor modal tertentu beraliansi dengan negara dan imperialisme -memukul kelas-kelas dalam massa rakyat dan memaksakan penerapan model-model mereka. Tentu saja perspektif yang non-kelas tidak akan mampu memblejeti asal usul dari ideologi post marxisme ini. Lebih dari itu, - seperti halnya dengan persoalan asal-usulnya, post marxisme, secara kasar membatasi dan merampas sumberdaya dan usaha kaum marxis dalam perjuangannya, - dengan meningkatkan tawaran-tawaran menarik yang memancing opurtunisme. Ini dapat berupa pendanaan, karir, dan semua hal yang bisa memecah kekuatan marxis, dengan pendekatan kebudayaan, sosial dan tentu saja ekonomi politik, baik di tingkat nasional maupun internasional. Asal usul sosiologis dari post-Marxisme tertanam pada saat-saat pergantian kekuasaan politik dari kelas pekerja ke ekspor kapital.




PEMBEBASAN Bandung

Mari Berteman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar