Mari kita berpindah dari pembicaraan mengenai
sebuah pengetahuan sosiologis tentang kritik seputar ideologi post marxisme dan
pandangan umum mereka yang tidak konsisten ke diskusi soal dalil-dalilnya yang
lebih khusus. Diawali, pertama, dari dalil tentang "kegagalan sosialisme"
dan "akhir dari masa ideologi-ideologi". Apa yang dimaksud dengan
"kegagalan sosialisme"? Keruntuhan rezim komunis Uni Soviet dan Eropa
Timur? Jawabnya adalah bahwa semua pengalaman di atas hanya merupakan bagian
dari salah satu konsep sosialisme. Kemudian, walaupun tidak jelas, apa yang
salah, apakah sistem politiknya atau sistem ekonominya? Pada pemilihan umum
yang terakhir di Rusia, Polandia, Hungaria, dan banyak negara bekas Republik
Soviet, menunjukkan bahwa mayoritas suara lebih memilih untuk kembali
menggunakan kebijakan lama dalam bidang kesejahteraan sosial dan praktek
ekonominya. Jika demikian yang menjadi kenyataan maka perkembangan di bekas
negara-negara eks-Soviet tersebut berarti belum merupakan hasil akhir, seperti
yang sering di gembar-gemborkan kaum kapitalis dan antek-anteknya di blok
post-marxisme.
Kedua, jika kegagalan sosialisme yang dimaksudkan oleh post-marxisme tersebut merupakan kemunduran dari kekuatan-kekuatan kiri, maka kita musti benar-benar jernih melihat perbedaan antara "kegagalan" dengan "ketidak-cakapan internal" dalam praktek sosialis dan kekalahan politik serta militer oleh serangan agresor dari luar. Tidak ada yang mengatakan bahwa penghancuran oleh sistem demokrasi di Eropa oleh Hitler sebagai "kegagalan demokrasi ". Tindakan rejim teroris kapitalis dan atau dalam hal ini Amerika Serikat di Chile, Argentina, Bolivia, Uruguay, Republik Dominika, Guatemala, Nikaragua, El Salvador, Angola, Mozambik, Afganistan, Indonesia, Vietnam dan Filipina memainkan peran yang besar pada "kemunduran kiri revolusioner". Kekalahan militer tidak berarti kegagalan dalam sistem ekonomi dan tidak mencerminkan persoalan efektifitas serta pengalaman-pengalaman sosialis. Lebih dari itu, ketika kita menganalisa internal performance (kinerja internal) selama periode pemerintahan sosialis yang stabil atau pemerintahan yang berwatak kerakyatan, dengan berbagai indikator sosial, menunjukkan hasil yang lebih baik daripada bentuk-bentuk yang muncul dalam sistem yang kemudian. Contohnya di Chile, partisipasi sosial, kesehatan, pendidikan, dan pemerataan pertumbuhan jauh lebih baik di bawah pemerintahan Allende, dibandingkan dengan sistem yang datang kemudian di bawah Pinochet. Indikator yang sama terlihat dalam pengalaman di Nicaragua - menunjukkan bahwa di bawah Sandinista keadaan lebih baik ketimbang periode yang dipimpin oleh rejim Chamoro kemudian. Reformasi agraria dan kebijakan HAM yang dilakukan oleh pemerintahan Arbenz jauh lebih baik ketimbang kebijakan konsentrasi tanah yang membunuh 150.000 orang oleh pemerintahan yang di-install oleh CIA.
Saat ini, memang benar bahwa
pemerintahan Neo-liberalis dan pemerintahan marxis, tidak sedang berkuasa.
Sangat sulit melihat kepemimpinan kaum kiri revolusioner di belahan bumi barat
(Eropa dan Amerika) - seperti memimpin dalam aksi massa besar dan menantang
rejim serta kebijakan neo-liberal. Di Paraguay, Bolivia dan Uruguay, berhasil
di lancarkan pemogokan umum besar-besaran; pengaruh gerakan kaum tani yang luas
dan besar serta perjuangan bersenjata oleh kaum Indian di Mexiko; gerakan kaum
buruh tani tidak bertanah di Brazil - semua itu mencerminkan pengaruh yang kuat
dari kekuatan-kekuatan marxis.
Sosialisme di luar blok komunis
secara esensial menggambarkan demokasi yang nyata. Kekuatan populis mendapatkan
dukungan luas karena ia mewakili kepentingan rakyat yang bebas memilih. Inilah
yang menyebabkan kebingungan kaum post-marxis, antara praktek pengalaman
komunisme di Soviet dengan praktek pengalaman gerakan revolusioner
demokratik-sosialis di grassroot Amerika Latin. Mereka dibingungkan oleh
kekalahan antara kekalahan militer dengan kegagalan politik kiri. Mereka
menerima dan memamah biak penggabungan neo-liberalisme terhadap dua konsep yang
saling bertentangan tersebut. Akhirnya, dalam kasus Eropa Timur, mereka gagal
melihat perubahan dan dinamika sifat dari komunisme itu sendiri. Pertumbuhan
popularitas dari sebuah sintesa sosialisme yang terbaru terhadap kepemilikan
sosial, program-program kesejahteraan, reformasi agraria dan dewan-dewan
demokratik, yang kesemuanya itu berlandaskan pada sebuah perkembangan gerakan
sosial-politik yang baru.
Dalam hal ini pandangan post marxis
tentang "akhir dari masa ideologi-ieologi", bukan hanya tidak
konsisten dengan pernyataan ideologis mereka, tapi juga terhadap kelanjutan
perdebatan ideologis antara yang bentukan marxime lama dan yang terbaru
berhadapan dengan neo-liberalisme dan keturunan anak cucunya: Post-marxisme!
PEMBUBARAN KELAS-KELAS DAN MUNCULNYA
IDENTITAS
Post-Marxis juga menyerang penggunaan
pendekatan analisa kelas dari berbagai perspektif. Di satu pihak mereka
mengklaim bahwa pendekatan tersebut mengaburkan kesejajaran atau yang lebih
penting adalah identitas budaya (gender dan etnik). Mereka menyatakan bahwa
pendekatan dengan analisa kelas adalah sebuah reduksi ekonomistik dan gagal
menjelaskan perbedaan-perbedaan gender maupun etnik di dalam kelas-kelas.
Mereka kemudian lebih jauh berargumen bahwa justru perbedaan-perbedaan inilah
yang menentukan keaslian politik kontemporer.
Serangan mereka yang kedua terhadap
pandangan analisa kelas, adalah bahwa analisa kelas hanya merupakan desain dari
konstruksi intelektual - hanya merupakan sebuah gejala/fenomena subyektif yang
kuat menentukan secara kultural saja. Sebenarnya tidak ada "kepentingan
kelas yang objektif" yang membagi masyarakat - karena "kepentingan"
tersebut adalah semata-mata subyektif dan setiap budaya menentukan
pilihan-pilihan individual.
Serangan mereka yang ketiga adalah
argumentasi bahwa telah terjadi transformasi yang cepat dalam ekonomi dan
masyarakat yang telah melenyapkan perbedaan kelas yang lama. Argumentasi mereka
bahwa , - Era masyarakat Post Industrial, - menunjukkan bahwa sumber kekuasaan
ada pada sistem informasi yang terbaru, teknologi terbaru dan pada mereka yang
mengontrol dan mengatur semua itu. Masyarakat, menurut pandangan mereka, sedang
berubah menuju masyarakat baru dimana buruh industri akan menghilang menuju dua
arah yaitu: naik menjadi "new middle class/kelas menengah baru" yang
berteknologi tinggi, - atau merosot ke bawah menjadi "under class/kelas
bawah".
Marxisme tidak pernah menolak tentang
pentingnya pemilahan ras, gender dan etnik di dalam pendekatan analisa
kelas-kelas. Apa yang diinginkan oleh post marxisme adalah penekanan pada
sistem sosial yang lebih luas yang menghasilkan perbedaan-perbedaan dan
keharusan melakukan penggabungan kekuatan antar kelas-kelas untuk menghapuskan
ketidak seimbangan dalam kerja, lingkungan dan keluarga. Namun apa yang lebih
mendapatkan penekanan oleh post-marxisme adalah bahwa persoalan ketidakadilan
terhadap gender, ras, dan etnik bisa dianalisa dan dihapus di luar pendekatan
analisa kelas. Seorang perempuan tuan tanah dan pembantu-pembantunya memiliki
"identitas esensial", seperti halnya seorang perempuan tani yang
bekerja dengan upah rendah; seorang birokrat Indian dari pemerintahan neo-liberal
memiliki sebuah "identitas "yang sama dengan petani perempuan Indian
yang kehilangan tanah karena politik ekonomi pasar bebas. Contohnya seperti
Bolivia yang memiliki seorang Wakil Presiden berasal dari etnik Indian yang
juga melakukan pemenjaraan massal terhadapa petani coklat Indian.
Politik identitas bagi sementara
kelompok mungkin memang bisa menjadi sebuah penyadaran bagi salah satu bentuk
penindasan dan dapat menggerakkan mereka. Namun dengan demikian pemahaman ini
akan menjadi pemenjaraan kesadaran (ras etnik dan gender) yang mengisolasinya
dari setiap bentuk penindasan yang lain di masyarakat, jika tidak segera
berubah, mencapai kesadaran penindasan secara lebih luas dan menghadapi sistem
yang menindas masyarakat secara luas. Apa lagi jika tidak segera masuk pada
pendekatan analisa kelas dari struktur kekuasaan yang lebih luas dan
menyebabkan ketidakadilan secara umum dan khusus.
Politik identitas mengisolasi
kelompok-kelompok untuk saling bersaing dan tidak dapat berubah secara lebih
luas dalam arti ekonomi dan politik yang mencakup kepentingan orang miskin,
buruh dan tani. Sedangkan politik kelas adalah benteng untuk memerangi politik
identitas dan mentransformasikan semua lembaga yang mempertahankan
ketidakadilan kelas dan lainnya (gender, etnik, dan ras).
Kelas-kelas tidak datang secara
subyektif, namun merupakan hasil pengorganisiran kelas kapitalis dalam rangka
membangun nilai-nilai mereka. Dalil bahwa kelas merupakan dalil-dalil subyektif
adalah tergantung atas waktu, tempat, dan persepsi serta kesadaran akan kelas
itu sendiri. Hal ini juga tergantung pada faktor sosial dan
budaya. Kesadaran kelas adalah bangunan sosial yang ada sepanjang sejarah.
Semen-tara bentuk-bentuk sosial dan ekspresi kesadaran kelas adalah fenomena
yang muncul berulang-ulang sepanjang sejarah di hampir semua bagian dunia,
walaupun ia tertutup oleh bentuk-bentuk lain dari kesadaran dalam
momentum-momentum yang berbeda (ras, gender, nasionalisme) atau berupa
kombinasi (nasionalisme dan kesadaran kelas).
Jelas ada beberapa perubahan besar
dalam struktur kelas, tapi tidak seperti yang dikemukakan oleh post-marxisme.
Perubahan-perubahan besar justru telah semakin memperkuat dan memperjelas
perbedaan kelas dan penindasan kelas, walaupun bentuk dan syarat-syarat dari
yang ditindas dan yang menindas telah berubah. Sekarang lebih banyak buruh
kontrak dari sebelumnya. Lebih banyak lagi buruh yang bekerja di sektor
informal (disebut unregulated labor/buruh sektor informal karena tidak di bawah
perlindungan dan aturan yang berlaku) dari pada sebelumnya. Persoalan sektor
informal ini bukan berarti sistem itu merupakan transendensi dari bentukan lama
kapitalisme, namun justru kembali ke bentuk penindasan buruh di abad 19.
Analisa baru ini berangkat dari pola kapitalisme setelah negara kesejahteraan
rakyat (welfare populist state) ter-gusur. Ini artinya bahwa peran negara dan
partai yang menjadi perantara antara modal dan tenaga kerja telah digantikan
oleh institusi negara secara lebih jelas dan langsung berhubungan dengan kelas
kapitalis yang dominan berkuasa. Neo-liberalisme tidak menjadi perantara kelas
yang menguasai negara. Saat ini model akumulasi Neo-liberalisme lebih banyak
tergantung secara langsung pada kontrol negara secara terpu-sat berhubungan
sejajar dengan bank-bank internasional untuk mengimplementasikan pembayaran
utang dan untuk mengekspor hasil sektor-sektor ekonomi dengan pinjaman mata
uang asing. Garis vertikalnya berhubungan dengan masyarakat sebagai subyek dan
hubungan yang terutama melalui aparatus negara yang represif dan para kaki
tangan LSM yang takut pada ledakan sosial.
Tergusurnya welfare state (negara
kesejahteraan) bermakna polarisasi dalam struktur sosial: antara
pekerja-pekerja sektor publik yang dibayar rendah di bidang kesehatan, pendidikan,
keamanan sosial di satu pihak, dan dipihak lain adalah kaum profesional yang
mendapatkan upah lebih baik dan berhubungan dengan perusahaan multi nasional
(MNC), LSM dan Lembaga-lembaga Dana dari luar, yang juga berhubungan dengan
pasar dunia dan pusat-pusat kekuasaan .
Perjuangan sekarang tidak hanya
antara kelas-kelas di pabrik-pabrik tapi antara negara berhadapan dengan
kelas-kelas yang mengakar di jalanan dan pasar yang telah digantikan oleh
buruh-buruh yang terdesak untuk menghasilkan produksi dan menjualnya untuk
menutupi biaya hidup. Masuknya kedalam pasar dunia oleh eksportir-eksportir
elit besar dan komprador menengah serta kecil ( barang elektronik, parawisata
dari hotel dan penginapan) memiliki pasangannya dalam disintegrasi ekonomi
dalam negeri: industri lokal pertanian kecil bersamaan dengan pindahnya tenaga
produktif ke kota dan luar negeri.
Impor barang-barang luks untuk kelas
menengah atas adalah berdasarkan ekspor tenaga kerja kaum miskin yang dikirim
ke luar negeri. Eksploitasinya berbentuk pemiskinan dalam negeri, terutama pada
kaum tani yang akhirnya dipaksa migrasi ke kota dan ke luar negeri. Pendapatan
yang dibayar dari menjual buruh ke luar negeri menghasilkan mata uang keras
untuk mendanai impor dan seluruh proyek infrastruktur neo-liberal serta untuk
mempromosikan ekspor domestik dan bisnis pariwisata secara merajalela. Rantai
penghisapan dan penindasan semakin melingkar namun tetap terbatas seputar
hubungan buruh-modal.
Dalam era neo-liberalisme, perjuangan
untuk membangun kembali bangsa, pasar nasional, produk nasional, dan pertukaran
mata uang, sekali lagi terulang dalam sejarah sebagai hukum permintaan, yaitu
pertumbuhan deregulasi tenaga kerja (secara informal) mensyaratkan sebuah
investasi publik yang besar, kuat dan berpusat untuk meningkatkan
ketenagakerjaan yang formal dengan suatu syarat hidup sosial. Dengan kata lain,
akan ada kesamaan identitas kelas yang membentuk benteng untuk pengorganisiran
perjuangan kaum miskin.
Kesimpulannya, berlawanan dengan
argumentasi post-marxisme, transformasi kapital membuat analisa kelas semakin
relevan dan nyata. Pertumbuhan teknologi telah membangkitkan perbedan kelas,
bukannya menghapuskannya. Buruh-buruh indrustri micro-chip dan sejenisnya yang
menghasilkan elemen-elemen micro-chip yang ada sekarang, belum menggeser posisi
kaum buruh apa lagi mengurangi barisan mereka. Hal tersebut belum menggantikan
aktivitas dan model produksi di dalam proses penindasan yang berkelanjutan.
Struktur kelas baru sejauh ini dapat dilihat sebagai kombinasi
teknologi-teknologi baru untuk lebih mengontrol bentuk-bentuk eksploitasi.
Otomatisasi dalam beberapa sektor meningkatkan jam kerja; kamera televisi
meningkatkan pengawasan buruh, sementara dilakukan pengurangan staf
administrasi; suatu lingkaran kerja berkualitas, dimana buruh menekan buruh,
meningkatkan self-exploitation (eksploitasi diri sendiri) tanpa meningkatkan
upah dan hak-haknya. Revolusi teknologi, dipertajam oleh struktur kelas neo
liberalisme yang sangat anti revolusi. Komputer akan mengontrol harga pertanian
dan volume pestisida, Tapi buruh yang menyemprotkan pupuk dan anti hama tetap
mendapatkan bayaran rendah. Jaringan informasi akan memperkuat ekonomi informal
yang dilakukan dari rumah dengan menggunakan jaringan TV, periklanan dan telepon.
Kunci untuk memahami proses dan
perkembangan teknologi berhadapan dengan tenaga kerja yang dikeluarkan oleh
buruh adalah dengan menggunakan analisa kelas yang di dalamnya ada persoalan
berbagai macam: gender, ras, nasionalisme, etnik dan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar