Kritik Terhadap Kaum Post Marxist (Bag.2)

Oleh: James Petras

James Petras adalah seorang Profesor Sosiologi di Universitas Binghampton, New York, Amerika Serikat. Tulisan-tulisannya banyak mengupas soal politik dan pengalaman praktek gerakan revolusioner di Amerika Latin. Ia juga seorang contributing editor di Jurnal LINKS, International Journal of Socialist Renewal. Foto: circus-maximus-interviews-ranier-1664-james-petras-drawing.gif

Mari kita berpindah dari pembicaraan mengenai sebuah pengetahuan sosiologis tentang kritik seputar ideologi post marxisme dan pandangan umum mereka yang tidak konsisten ke diskusi soal dalil-dalilnya yang lebih khusus. Diawali, pertama, dari dalil tentang "kegagalan sosialisme" dan "akhir dari masa ideologi-ideologi". Apa yang dimaksud dengan "kegagalan sosialisme"? Keruntuhan rezim komunis Uni Soviet dan Eropa Timur? Jawabnya adalah bahwa semua pengalaman di atas hanya merupakan bagian dari salah satu konsep sosialisme. Kemudian, walaupun tidak jelas, apa yang salah, apakah sistem politiknya atau sistem ekonominya? Pada pemilihan umum yang terakhir di Rusia, Polandia, Hungaria, dan banyak negara bekas Republik Soviet, menunjukkan bahwa mayoritas suara lebih memilih untuk kembali menggunakan kebijakan lama dalam bidang kesejahteraan sosial dan praktek ekonominya. Jika demikian yang menjadi kenyataan maka perkembangan di bekas negara-negara eks-Soviet tersebut berarti belum merupakan hasil akhir, seperti yang sering di gembar-gemborkan kaum kapitalis dan antek-anteknya di blok post-marxisme.

Kedua, jika kegagalan sosialisme yang dimaksudkan oleh post-marxisme tersebut merupakan kemunduran dari kekuatan-kekuatan kiri, maka kita musti benar-benar jernih melihat perbedaan antara "kegagalan" dengan "ketidak-cakapan internal" dalam praktek sosialis dan kekalahan politik serta militer oleh serangan agresor dari luar. Tidak ada yang mengatakan bahwa penghancuran oleh sistem demokrasi di Eropa oleh Hitler sebagai "kegagalan demokrasi ". Tindakan rejim teroris kapitalis dan atau dalam hal ini Amerika Serikat di Chile, Argentina, Bolivia, Uruguay, Republik Dominika, Guatemala, Nikaragua, El Salvador, Angola, Mozambik, Afganistan, Indonesia, Vietnam dan Filipina memainkan peran yang besar pada "kemunduran kiri revolusioner". Kekalahan militer tidak berarti kegagalan dalam sistem ekonomi dan tidak mencerminkan persoalan efektifitas serta pengalaman-pengalaman sosialis. Lebih dari itu, ketika kita menganalisa internal performance (kinerja internal) selama periode pemerintahan sosialis yang stabil atau pemerintahan yang berwatak kerakyatan, dengan berbagai indikator sosial, menunjukkan hasil yang lebih baik daripada bentuk-bentuk yang muncul dalam sistem yang kemudian. Contohnya di Chile, partisipasi sosial, kesehatan, pendidikan, dan pemerataan pertumbuhan jauh lebih baik di bawah pemerintahan Allende, dibandingkan dengan sistem yang datang kemudian di bawah Pinochet. Indikator yang sama terlihat dalam pengalaman di Nicaragua - menunjukkan bahwa di bawah Sandinista keadaan lebih baik ketimbang periode yang dipimpin oleh rejim Chamoro kemudian. Reformasi agraria dan kebijakan HAM yang dilakukan oleh pemerintahan Arbenz jauh lebih baik ketimbang kebijakan konsentrasi tanah yang membunuh 150.000 orang oleh pemerintahan yang di-install oleh CIA.

Saat ini, memang benar bahwa pemerintahan Neo-liberalis dan pemerintahan marxis, tidak sedang berkuasa. Sangat sulit melihat kepemimpinan kaum kiri revolusioner di belahan bumi barat (Eropa dan Amerika) - seperti memimpin dalam aksi massa besar dan menantang rejim serta kebijakan neo-liberal. Di Paraguay, Bolivia dan Uruguay, berhasil di lancarkan pemogokan umum besar-besaran; pengaruh gerakan kaum tani yang luas dan besar serta perjuangan bersenjata oleh kaum Indian di Mexiko; gerakan kaum buruh tani tidak bertanah di Brazil - semua itu mencerminkan pengaruh yang kuat dari kekuatan-kekuatan marxis.

Sosialisme di luar blok komunis secara esensial menggambarkan demokasi yang nyata. Kekuatan populis mendapatkan dukungan luas karena ia mewakili kepentingan rakyat yang bebas memilih. Inilah yang menyebabkan kebingungan kaum post-marxis, antara praktek pengalaman komunisme di Soviet dengan praktek pengalaman gerakan revolusioner demokratik-sosialis di grassroot Amerika Latin. Mereka dibingungkan oleh kekalahan antara kekalahan militer dengan kegagalan politik kiri. Mereka menerima dan memamah biak penggabungan neo-liberalisme terhadap dua konsep yang saling bertentangan tersebut. Akhirnya, dalam kasus Eropa Timur, mereka gagal melihat perubahan dan dinamika sifat dari komunisme itu sendiri. Pertumbuhan popularitas dari sebuah sintesa sosialisme yang terbaru terhadap kepemilikan sosial, program-program kesejahteraan, reformasi agraria dan dewan-dewan demokratik, yang kesemuanya itu berlandaskan pada sebuah perkembangan gerakan sosial-politik yang baru.

Dalam hal ini pandangan post marxis tentang "akhir dari masa ideologi-ieologi", bukan hanya tidak konsisten dengan pernyataan ideologis mereka, tapi juga terhadap kelanjutan perdebatan ideologis antara yang bentukan marxime lama dan yang terbaru berhadapan dengan neo-liberalisme dan keturunan anak cucunya: Post-marxisme!

PEMBUBARAN KELAS-KELAS DAN MUNCULNYA IDENTITAS

Post-Marxis juga menyerang penggunaan pendekatan analisa kelas dari berbagai perspektif. Di satu pihak mereka mengklaim bahwa pendekatan tersebut mengaburkan kesejajaran atau yang lebih penting adalah identitas budaya (gender dan etnik). Mereka menyatakan bahwa pendekatan dengan analisa kelas adalah sebuah reduksi ekonomistik dan gagal menjelaskan perbedaan-perbedaan gender maupun etnik di dalam kelas-kelas. Mereka kemudian lebih jauh berargumen bahwa justru perbedaan-perbedaan inilah yang menentukan keaslian politik kontemporer.

Serangan mereka yang kedua terhadap pandangan analisa kelas, adalah bahwa analisa kelas hanya merupakan desain dari konstruksi intelektual - hanya merupakan sebuah gejala/fenomena subyektif yang kuat menentukan secara kultural saja. Sebenarnya tidak ada "kepentingan kelas yang objektif" yang membagi masyarakat - karena "kepentingan" tersebut adalah semata-mata subyektif dan setiap budaya menentukan pilihan-pilihan individual.

Serangan mereka yang ketiga adalah argumentasi bahwa telah terjadi transformasi yang cepat dalam ekonomi dan masyarakat yang telah melenyapkan perbedaan kelas yang lama. Argumentasi mereka bahwa , - Era masyarakat Post Industrial, - menunjukkan bahwa sumber kekuasaan ada pada sistem informasi yang terbaru, teknologi terbaru dan pada mereka yang mengontrol dan mengatur semua itu. Masyarakat, menurut pandangan mereka, sedang berubah menuju masyarakat baru dimana buruh industri akan menghilang menuju dua arah yaitu: naik menjadi "new middle class/kelas menengah baru" yang berteknologi tinggi, - atau merosot ke bawah menjadi "under class/kelas bawah".

Marxisme tidak pernah menolak tentang pentingnya pemilahan ras, gender dan etnik di dalam pendekatan analisa kelas-kelas. Apa yang diinginkan oleh post marxisme adalah penekanan pada sistem sosial yang lebih luas yang menghasilkan perbedaan-perbedaan dan keharusan melakukan penggabungan kekuatan antar kelas-kelas untuk menghapuskan ketidak seimbangan dalam kerja, lingkungan dan keluarga. Namun apa yang lebih mendapatkan penekanan oleh post-marxisme adalah bahwa persoalan ketidakadilan terhadap gender, ras, dan etnik bisa dianalisa dan dihapus di luar pendekatan analisa kelas. Seorang perempuan tuan tanah dan pembantu-pembantunya memiliki "identitas esensial", seperti halnya seorang perempuan tani yang bekerja dengan upah rendah; seorang birokrat Indian dari pemerintahan neo-liberal memiliki sebuah "identitas "yang sama dengan petani perempuan Indian yang kehilangan tanah karena politik ekonomi pasar bebas. Contohnya seperti Bolivia yang memiliki seorang Wakil Presiden berasal dari etnik Indian yang juga melakukan pemenjaraan massal terhadapa petani coklat Indian.

Politik identitas bagi sementara kelompok mungkin memang bisa menjadi sebuah penyadaran bagi salah satu bentuk penindasan dan dapat menggerakkan mereka. Namun dengan demikian pemahaman ini akan menjadi pemenjaraan kesadaran (ras etnik dan gender) yang mengisolasinya dari setiap bentuk penindasan yang lain di masyarakat, jika tidak segera berubah, mencapai kesadaran penindasan secara lebih luas dan menghadapi sistem yang menindas masyarakat secara luas. Apa lagi jika tidak segera masuk pada pendekatan analisa kelas dari struktur kekuasaan yang lebih luas dan menyebabkan ketidakadilan secara umum dan khusus.

Politik identitas mengisolasi kelompok-kelompok untuk saling bersaing dan tidak dapat berubah secara lebih luas dalam arti ekonomi dan politik yang mencakup kepentingan orang miskin, buruh dan tani. Sedangkan politik kelas adalah benteng untuk memerangi politik identitas dan mentransformasikan semua lembaga yang mempertahankan ketidakadilan kelas dan lainnya (gender, etnik, dan ras).

Kelas-kelas tidak datang secara subyektif, namun merupakan hasil pengorganisiran kelas kapitalis dalam rangka membangun nilai-nilai mereka. Dalil bahwa kelas merupakan dalil-dalil subyektif adalah tergantung atas waktu, tempat, dan persepsi serta kesadaran akan kelas itu sendiri. Hal ini juga tergantung pada faktor sosial dan budaya. Kesadaran kelas adalah bangunan sosial yang ada sepanjang sejarah. Semen-tara bentuk-bentuk sosial dan ekspresi kesadaran kelas adalah fenomena yang muncul berulang-ulang sepanjang sejarah di hampir semua bagian dunia, walaupun ia tertutup oleh bentuk-bentuk lain dari kesadaran dalam momentum-momentum yang berbeda (ras, gender, nasionalisme) atau berupa kombinasi (nasionalisme dan kesadaran kelas).

Jelas ada beberapa perubahan besar dalam struktur kelas, tapi tidak seperti yang dikemukakan oleh post-marxisme. Perubahan-perubahan besar justru telah semakin memperkuat dan memperjelas perbedaan kelas dan penindasan kelas, walaupun bentuk dan syarat-syarat dari yang ditindas dan yang menindas telah berubah. Sekarang lebih banyak buruh kontrak dari sebelumnya. Lebih banyak lagi buruh yang bekerja di sektor informal (disebut unregulated labor/buruh sektor informal karena tidak di bawah perlindungan dan aturan yang berlaku) dari pada sebelumnya. Persoalan sektor informal ini bukan berarti sistem itu merupakan transendensi dari bentukan lama kapitalisme, namun justru kembali ke bentuk penindasan buruh di abad 19. Analisa baru ini berangkat dari pola kapitalisme setelah negara kesejahteraan rakyat (welfare populist state) ter-gusur. Ini artinya bahwa peran negara dan partai yang menjadi perantara antara modal dan tenaga kerja telah digantikan oleh institusi negara secara lebih jelas dan langsung berhubungan dengan kelas kapitalis yang dominan berkuasa. Neo-liberalisme tidak menjadi perantara kelas yang menguasai negara. Saat ini model akumulasi Neo-liberalisme lebih banyak tergantung secara langsung pada kontrol negara secara terpu-sat berhubungan sejajar dengan bank-bank internasional untuk mengimplementasikan pembayaran utang dan untuk mengekspor hasil sektor-sektor ekonomi dengan pinjaman mata uang asing. Garis vertikalnya berhubungan dengan masyarakat sebagai subyek dan hubungan yang terutama melalui aparatus negara yang represif dan para kaki tangan LSM yang takut pada ledakan sosial.

Tergusurnya welfare state (negara kesejahteraan) bermakna polarisasi dalam struktur sosial: antara pekerja-pekerja sektor publik yang dibayar rendah di bidang kesehatan, pendidikan, keamanan sosial di satu pihak, dan dipihak lain adalah kaum profesional yang mendapatkan upah lebih baik dan berhubungan dengan perusahaan multi nasional (MNC), LSM dan Lembaga-lembaga Dana dari luar, yang juga berhubungan dengan pasar dunia dan pusat-pusat kekuasaan .

Perjuangan sekarang tidak hanya antara kelas-kelas di pabrik-pabrik tapi antara negara berhadapan dengan kelas-kelas yang mengakar di jalanan dan pasar yang telah digantikan oleh buruh-buruh yang terdesak untuk menghasilkan produksi dan menjualnya untuk menutupi biaya hidup. Masuknya kedalam pasar dunia oleh eksportir-eksportir elit besar dan komprador menengah serta kecil ( barang elektronik, parawisata dari hotel dan penginapan) memiliki pasangannya dalam disintegrasi ekonomi dalam negeri: industri lokal pertanian kecil bersamaan dengan pindahnya tenaga produktif ke kota dan luar negeri.

Impor barang-barang luks untuk kelas menengah atas adalah berdasarkan ekspor tenaga kerja kaum miskin yang dikirim ke luar negeri. Eksploitasinya berbentuk pemiskinan dalam negeri, terutama pada kaum tani yang akhirnya dipaksa migrasi ke kota dan ke luar negeri. Pendapatan yang dibayar dari menjual buruh ke luar negeri menghasilkan mata uang keras untuk mendanai impor dan seluruh proyek infrastruktur neo-liberal serta untuk mempromosikan ekspor domestik dan bisnis pariwisata secara merajalela. Rantai penghisapan dan penindasan semakin melingkar namun tetap terbatas seputar hubungan buruh-modal.

Dalam era neo-liberalisme, perjuangan untuk membangun kembali bangsa, pasar nasional, produk nasional, dan pertukaran mata uang, sekali lagi terulang dalam sejarah sebagai hukum permintaan, yaitu pertumbuhan deregulasi tenaga kerja (secara informal) mensyaratkan sebuah investasi publik yang besar, kuat dan berpusat untuk meningkatkan ketenagakerjaan yang formal dengan suatu syarat hidup sosial. Dengan kata lain, akan ada kesamaan identitas kelas yang membentuk benteng untuk pengorganisiran perjuangan kaum miskin.

Kesimpulannya, berlawanan dengan argumentasi post-marxisme, transformasi kapital membuat analisa kelas semakin relevan dan nyata. Pertumbuhan teknologi telah membangkitkan perbedan kelas, bukannya menghapuskannya. Buruh-buruh indrustri micro-chip dan sejenisnya yang menghasilkan elemen-elemen micro-chip yang ada sekarang, belum menggeser posisi kaum buruh apa lagi mengurangi barisan mereka. Hal tersebut belum menggantikan aktivitas dan model produksi di dalam proses penindasan yang berkelanjutan. Struktur kelas baru sejauh ini dapat dilihat sebagai kombinasi teknologi-teknologi baru untuk lebih mengontrol bentuk-bentuk eksploitasi. Otomatisasi dalam beberapa sektor meningkatkan jam kerja; kamera televisi meningkatkan pengawasan buruh, sementara dilakukan pengurangan staf administrasi; suatu lingkaran kerja berkualitas, dimana buruh menekan buruh, meningkatkan self-exploitation (eksploitasi diri sendiri) tanpa meningkatkan upah dan hak-haknya. Revolusi teknologi, dipertajam oleh struktur kelas neo liberalisme yang sangat anti revolusi. Komputer akan mengontrol harga pertanian dan volume pestisida, Tapi buruh yang menyemprotkan pupuk dan anti hama tetap mendapatkan bayaran rendah. Jaringan informasi akan memperkuat ekonomi informal yang dilakukan dari rumah dengan menggunakan jaringan TV, periklanan dan telepon.

Kunci untuk memahami proses dan perkembangan teknologi berhadapan dengan tenaga kerja yang dikeluarkan oleh buruh adalah dengan menggunakan analisa kelas yang di dalamnya ada persoalan berbagai macam: gender, ras, nasionalisme, etnik dan lainnya.


PEMBEBASAN Bandung

Mari Berteman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar