| |
Foto: http://sites.sandiego.edu/engl294/2016/02/11/the-marxist-word-cloud/ |
NEGARA DAN MASYARAKAT SIPIL
Post Marxime menggambarkan satu sisi
saja dari negara. Negara digambarkan sebagai satu kubangan birokrasi yang tidak
efisien yang merampok harta publik. Juga membiarkan rakyat tetap miskin dan
ekonomi menjadi bangkrut. Dalam pengertian politik, negara adalah sumber hukum
otoritarian yang menghambat masyarakat melatih demokrasi dan kebebasan pasar.
Di sisi lain post-marxisme berargumentasi bahwa masyarakat sipil adalah sumber
dari kebebasan, gerakan sosial dan kewarganegaraan.
KEKUASAAN NEGARA YANG KORUP
Salah satu kritik post-marxime adalah
bahwa kekuasaan negara pastilah korup dan perjuangan menentang kekuasan
tersebut adalah dosa. Mereka berpendapat bahwa ini terjadi karena negara
berjarak dengan warga negara. Penguasa menjadi otonom dan sewenang-wenang,
melupakan tujuan yang sesungguhnya dan memaksakan kehendak mereka sendiri.
Dalam sejarah, banyak terjadi rakyat yang merebut kekuasaan menjadi tiran, tapi
ada juga kasus tertentu yang memimpin gerakan sosial memiliki efek eman-sipasi.
Penghancuran perbudakan dan penumbangan monarki absolut adalah dua contoh. Jadi
kekuasaan dalam negara memiliki dua arti yang tergantung pada konteks
sejarahnya. Dalam beberapa kasus, gerakan lokal berhasil memobilisir
masyarakat dan memperoleh perubahan kondisi dengan segera. Namun ada juga kasus
dimana keutuhan ekonomi politik makro telah menekan usaha-usaha lokal tersebut.
Saat ini kebijakan penyesuaian struktural di lingkup nasional maupun di
internasional telah meningkatkan jumlah kemiskinan dan pengangguran. Menghancurkan
sumber daya lokal dan mendesak rakyat lokal untuk memasuki dunia kriminal.
Dialektika antara negara dan kekuasan lokal yang berjalan mendorong inisiatif
lokal dan merubah ketergantungan kelas penguasa termanifestasikan dalam dua
level. Ada beberapa kasus dari beberapa pemerintahan daerah yang progresif
menjadi rusak karena rejim reaksioner di pemerintahan nasional memotong
pendanaan bagi mereka. Di satu sisi pemerintahan lokal yang progresif tersebut
sangat membantu organisasi lingkungan lokal seperti yang dilakukan oleh seorang
sosialis yang menjadi kepala pemerintahan di Montevideo-Uruguai atau seorang
kepala pemerintahan yang beroreintasi kiri di Porte Alegre-Brazil.
Post marxis yang mengecam
pemerintahan lokal atau negara sesungguhnya tidak berbasiskan pada pengalaman
sejarah. Hanya ingin memberi legitimasi terhadap peran NGO (LSM) sebagai
mediator antara organisasi-organisasi lokal dengan pendana asing neo-liberal
(IMF/Bank Dunia, Eropa atau AS) dan pada rejim-rejim yang pro terhadap pasar
bebas. Dalam rangka melegitimasi peran mereka, NGO-NGO profesional yang
berpandangan post marxist, sebagai "agen demokrasi di grass root",
selalu meremehkan dan menghina kaum kiri yang berada di puncak kekusaan negara.
Dalam proses berikutnya mereka menambahkan aktivitas neo-liberal dengan menekan
dan memukul jaringan antara perjuangan lokal dan organisasi-organisasi serta
gerakan politik internasional dan nasional. Penekanan pada "aktivitas
lokal" mengamankan hak keadilan rejim-rejim neo-liberal, seperti dengan mengijinkan
dukungan asing dan nasional untuk mendominasi kebijakan sosio-ekonomi mikro,
dan memakai semua sumber daya negara atas nama ekspor kapitalis dan kepentingan
finansial.
Kaum post-marxis, selayaknya seorang
manager NGO, menjadi sangat cakap dalam mendesain proyek dan menghubungkan
"identitas " baru dan jargon globalisasi ke dalam gerakan popular.
Mereka berbicara dan menulis tentang kerja sama internasional dan usaha mandiri
mikro yang menciptakan benang ideologis neo-liberal dan sementara itu juga
mendesak masyarakat agar bergantung pada kucuran donor asing dan agenda
sosio-ekonomi neo liberal mereka. Tidak mengejutkan, setelah dekade aktivitas
NGO, yang menyebabkan depolitisasi akibat dari ulah kaum post marxis, sekaligus
menye-babkan de-radikalisasi di seluruh kehidupan sisoal: perempuan,
lingkungan, dan organsisi pemuda. Kasus-kasus di Peru dan Chile adalah klasik: dimana NGO kuat berdiri maka
merupakan kemunduran gerakan sosial radikal.
Perjuangan lokal untuk memenangkan
isu mendesak adalah benih yang baik bagi bangkitnya sebuah gerakan yang
potensial untuk menjadi lebih radikal. Pertanyaannya adalah tentang arah yang
diambil: apakah mereka menjadi sebuah gerakan yang berusaha untuk memenangkan
tuntutan yang lebih besar pada sistim sosial yang berhubungan dengan kekuatan
lokal dalam rangka memukul negara dan pendukungnya ataukah gerakan itu hanya
menjadi sebuah aktivitas untuk mencari donor dana dari luar negeri. Ideologi
post-marxisme mempromosikan arah yang terakhir, sedangkan marxis-me konsisten
dengan arah yang pertama.
REVOLUSI SELALU BERAKHIR DENGAN BURUK
Bagi kaum post marxisme, revolusi
tidak jauh berbeda dengan persoalan kegagalan sosialisme. Mereka
menggembar-gemborkan kemunduran kaum kiri progresif-revolusioner, kemenangan
kapitalisme di timur, krisis dalam marxisme, kekuatan Amerika, kudeta dan
bantuan dari militer reaksioner. Semua usaha dilakukan untuk memukul kaum kiri
progresif-revolusioner. Tidak bosan-bosannya mereka mempropagandakan kebutuhan
untuk bekerja di dalam pasar bebas yang dibuat oleh IMF dan Bank Dunia. Semua
ini yang disebut pragmatisme. Post-marxisme berperan penting secara ideologis
dalam mempromosikan dan mempertahankan apa yang disebut dengan transisi elektoral
yaitu lewat Pemilu dan peran militer, di mana perubahan sosial diawali dari
sistem Pemilu.
Kebanyakan dari argumentasi
post-marxisme didasari pada statistik dan penelitian selektif yang menghasilkan
sebuah kesimpulan untuk menang dalam pemilu yang menuju ke perubahan sosial ala
neo liberal. Keputusan untuk menjalankan revolusi adalah ketinggalan jaman,
mereka memfokuskan semua usaha untuk menang dalam proses Pemilu dan bukan pada
pemogokan umum, protes massa atau pemberontakan. Yang akan memobilisir sejumlah
massa yang besar-besaran. Mereka mensyukuri kematian komunisme di akhir 1980
dan memaki kebangkitannya kembali di pertengahan 1990. Mereka menggambarkan
desakan militer dalam Pemilu tanpa mau menghitung tantangan pada militer dari
gerilyawan Zapatista di Caracas, Mexico dan pemogokan umum di Bolivia.
Dengan kata lain, ada keyakinan yang
berlebihan akan keberhasilan perjuangan diawali di tingkat lokal maupun
sektoral dalam kerangka Pemilu di tengah eksistensi militer dan selanjutnya
diharapkan mampu mendorong perubahan, sebuah harapan yang dibangun atas dasar
kegagalan dan ketidak mampuan skenario Pemilu untuk memenuhi tuntutan pokok dan
kebutuhan rakyat. Pada kenyataanya kaum oportunis ini gagal menghentikan
kekejaman militer, membayar kembali gaji para pegawai negeri di Argentina atau
mengakhiri bencana yang dialami oleh para petani coklat di Bolivia.
Kaum oportunis post-marxis justru
menimbulkan banyak masalah (part of the problem) daripada menciptakan jalan
keluar yang baru (part of solution). Sudah kurang lebih 15 tahun sejak
negosiasi ke arah transisi dimulai dan semakin lama proses itu berjalan, maka
kaum Post-Marxis selalu mengambil kebijakan neo liberal dan mempertahankan
kebijakan pasar bebas mereka. Kaum oportunis itu tidak mampu secara efektif
untuk menghalangi dampak sosial akibat pasar bebas yang menyengsarakan rakyat,
justru mereka yang semakin didesakkan oleh neo liberalisme untuk menerapkan
kebijakan baru dan jumlahnya semakin bertambah setiap tahun, kebijakan baru
yang semakin mencekik rakyat dalam rangka mempertahanakn kelangsungan hidup
kelas penguasa. Kaum post Marxis telah bergerak dari sikap mereka yang
pragmatik dalam mengkritik kebijakan neo liberal ke sikap menonjolkan diri
sebagai manajer proyek neo- liberal yang efisien dan jujur, dan mereka mampu
menjamin kepercayaan para investor dan memadamkan kerusuhan sosial.
Pada waktu yang sama, pragmatisme
dari kaum Post Marxis seakan berjalan seiring dengan kencangnya gerak laju
neo-liberalisme; dekade 90 an telah menjadi saksi "radikalisme"
kebijakan neo liberal, di mana mereka mendesain krisis berkepanjangan terhadap
penduduk pribumi dengan cara menawarkan investasi yang mengutungkan dan
kesempatan spekulasi kepada bank-bank yang beroperasi secara internasional dan
perusahan perusahaan multinasional lainnya. Neo liberalisme telah menciptakan
polarisasi struktur kelas yang justru semakin dekat ke paradigma Marxis
dibanding pandangan Post-Marxis sendiri. Struktur kelas di Amerika Latin
komtemporer jauh lebih jelas, jauh lebih berhubungan dengan kelas politik dan
negara, jauh lebih positif dibanding masa-masa sebelumnya. Dalam kondisi seperti
ini politik ke arah gerakan revolusioner jauh lebih relevan dibandingkan
tawaran pragmatis dari kaum post Marxis.
SOLIDARITAS KELAS DAN SOLIDARITAS
NEGARA PENDONOR
Kata solidaritas telah disalahgunakan
ke berbagai macam konteks yang tidak mempunyai arti sama sekali. Solidaritas
bagi kaum Post Marxis, solidaritas adalah termasuk bantuan luar negri yang
disalurkan kepada setiap kelompok yang dianggap berpotensi untuk berkembang.
Atau disisi lain, pola pendidikan yang dikemas secara populer ataupun penelitian-
penelitian ilmiah yang dilakukan oleh para kaum intelektual professional dengan
menjadikan kaum miskin sebagai obyek, itupun dianggap sebagai solidaritas.
Dalam beberapa hal, apa yang dilakukan oleh kaum oportunis dewasa ini melalui
program bantuan (aid) dan pelatihan (training) yang mereka berikan merupakan
ungkapan belas kasihan yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh
para misionaris Kristen ratusan tahun yang lalu.
Kaum post marxis mencoba menekankan
pentingnya "kemandirian" (self-help) dalam rangka menyerang kelompok
yang mereka anggap tergantung pada negara dan terperangkap dalam hegemoni
negara. Jadi mereka justru berlomba-lomba menggarap kelompok-kelompok yang
menjadi korban dari proyek neo-liberalisme, dan mereka bisa menjadi "santa
klaus" seperti itu karena mereka menerima subsidi yang cukup besar dari
rekan-rekan mereka di Eropa dan Amerika Serikat. Konsep "kemandirian"
mengede-pankan ide untuk mengganti pegawai yang digaji dengan tenaga
sukarelawan ( volunteer) ataupun profesional bebas yang dikontrak untuk jangka
pendek dalam proyek tertentu. Dasar pikiran dalam pandangan kaum Post-Marxis
adalah mengubah "solidaritas" menjadi kolaborasi dan subordinasi ke
arah ekonomi makro neo liberalisme dengan fokus pandang yang dialihkan dari
kelas berada ke arah kaum miskin yang tertindas.
Sebaliknya konsep kaum Marxis tentang
Solidaritas kelas adalah solidaritas di antara kaum sekelas dan solidaritas
dari kaum tertindas (baik wanita, maupun kaum kulit berwarna) melawan penindas
dari dalam maupun luar negeri. Fokus utamanya bukanlah pada donasi yang justru
memecah belah kelas dan menjinakkan sekelompok orang untuk waktu tertentu.
Fokus dari kaum Marxis terhadap solidaritas adalah pada aksi bersama dari
anggota dari kelas yang sama untuk membagi kesulitan ekonomi mereka secara
bersama-sama dan berjuang untuk perbaikan hidup semuanya.
Solidaritas kaum Marxis ini
melibatkan kaum intelektual yang menulis dan berbicara atas nama gerakan sosial
dalam konteks perjuangan, suka duka bersama dan menghadapi konsekuensi politik
yang sama. Bandingkan dengan kaum post marxis yang membenamkan diri mereka
dalam institusi internasional, seminar-seminar akademik, ya-yasan-yayasan
internasional, konferensi internasional dan laporan-laporan yang biro-kratis.
Mereka menulis karya mereka dalam bahasa post-modernis yang cuma bisa
dimengerti oleh pengarangnya sendiri.
Bagi kaum Marxis, solidaritas adalah
pembagian resiko kepada seluruh orang yang terlibat dalam gerakan, dan tidak
hanya dengan menjadi komentator yang duduk di belakang panggung yang hanya bisa
menanyakan macam macam tapi tidak pernah membela sesuatu apapun. Bagi kaum post
Marxis, proyek utama mereka adalah mencari dana bantuan internasional.
Sedangkan proyek utama kaum Marxis adalah perjuangan politik dan pendidikan
propaganda untuk memperbaiki kesadaran sosial. "Solidaritas" bagi
kaum post Marxis adalah terpisah dari kerangka utama semangat pembebasan kaum
tertindas, tujuan mereka hanyalah membawa orang-orang hadir di acara training
dan seminar mereka. Bagi kaum Marxis, perjuangan bersama harus mempunyai tujuan
ke arah masyarakat yang demokratis dan kolektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar