Kritik Terhadap Kaum Post Marxist (Bag.3)

Oleh: James Petras
Foto: http://sites.sandiego.edu/engl294/2016/02/11/the-marxist-word-cloud/

NEGARA DAN MASYARAKAT SIPIL

Post Marxime menggambarkan satu sisi saja dari negara. Negara digambarkan sebagai satu kubangan birokrasi yang tidak efisien yang merampok harta publik. Juga membiarkan rakyat tetap miskin dan ekonomi menjadi bangkrut. Dalam pengertian politik, negara adalah sumber hukum otoritarian yang menghambat masyarakat melatih demokrasi dan kebebasan pasar. Di sisi lain post-marxisme berargumentasi bahwa masyarakat sipil adalah sumber dari kebebasan, gerakan sosial dan kewarganegaraan.

KEKUASAAN NEGARA YANG KORUP

Salah satu kritik post-marxime adalah bahwa kekuasaan negara pastilah korup dan perjuangan menentang kekuasan tersebut adalah dosa. Mereka berpendapat bahwa ini terjadi karena negara berjarak dengan warga negara. Penguasa menjadi otonom dan sewenang-wenang, melupakan tujuan yang sesungguhnya dan memaksakan kehendak mereka sendiri. Dalam sejarah, banyak terjadi rakyat yang merebut kekuasaan menjadi tiran, tapi ada juga kasus tertentu yang memimpin gerakan sosial memiliki efek eman-sipasi. Penghancuran perbudakan dan penumbangan monarki absolut adalah dua contoh. Jadi kekuasaan dalam negara memiliki dua arti yang tergantung pada konteks sejarahnya. Dalam beberapa kasus, gerakan lokal berhasil memobilisir masyarakat dan memperoleh perubahan kondisi dengan segera. Namun ada juga kasus dimana keutuhan ekonomi politik makro telah menekan usaha-usaha lokal tersebut. Saat ini kebijakan penyesuaian struktural di lingkup nasional maupun di internasional telah meningkatkan jumlah kemiskinan dan pengangguran. Menghancurkan sumber daya lokal dan mendesak rakyat lokal untuk memasuki dunia kriminal. Dialektika antara negara dan kekuasan lokal yang berjalan mendorong inisiatif lokal dan merubah ketergantungan kelas penguasa termanifestasikan dalam dua level. Ada beberapa kasus dari beberapa pemerintahan daerah yang progresif menjadi rusak karena rejim reaksioner di pemerintahan nasional memotong pendanaan bagi mereka. Di satu sisi pemerintahan lokal yang progresif tersebut sangat membantu organisasi lingkungan lokal seperti yang dilakukan oleh seorang sosialis yang menjadi kepala pemerintahan di Montevideo-Uruguai atau seorang kepala pemerintahan yang beroreintasi kiri di Porte Alegre-Brazil.

Post marxis yang mengecam pemerintahan lokal atau negara sesungguhnya tidak berbasiskan pada pengalaman sejarah. Hanya ingin memberi legitimasi terhadap peran NGO (LSM) sebagai mediator antara organisasi-organisasi lokal dengan pendana asing neo-liberal (IMF/Bank Dunia, Eropa atau AS) dan pada rejim-rejim yang pro terhadap pasar bebas. Dalam rangka melegitimasi peran mereka, NGO-NGO profesional yang berpandangan post marxist, sebagai "agen demokrasi di grass root", selalu meremehkan dan menghina kaum kiri yang berada di puncak kekusaan negara. Dalam proses berikutnya mereka menambahkan aktivitas neo-liberal dengan menekan dan memukul jaringan antara perjuangan lokal dan organisasi-organisasi serta gerakan politik internasional dan nasional. Penekanan pada "aktivitas lokal" mengamankan hak keadilan rejim-rejim neo-liberal, seperti dengan mengijinkan dukungan asing dan nasional untuk mendominasi kebijakan sosio-ekonomi mikro, dan memakai semua sumber daya negara atas nama ekspor kapitalis dan kepentingan finansial.

Kaum post-marxis, selayaknya seorang manager NGO, menjadi sangat cakap dalam mendesain proyek dan menghubungkan "identitas " baru dan jargon globalisasi ke dalam gerakan popular. Mereka berbicara dan menulis tentang kerja sama internasional dan usaha mandiri mikro yang menciptakan benang ideologis neo-liberal dan sementara itu juga mendesak masyarakat agar bergantung pada kucuran donor asing dan agenda sosio-ekonomi neo liberal mereka. Tidak mengejutkan, setelah dekade aktivitas NGO, yang menyebabkan depolitisasi akibat dari ulah kaum post marxis, sekaligus menye-babkan de-radikalisasi di seluruh kehidupan sisoal: perempuan, lingkungan, dan organsisi pemuda. Kasus-kasus di Peru dan Chile adalah klasik: dimana NGO kuat berdiri maka merupakan kemunduran gerakan sosial radikal.

Perjuangan lokal untuk memenangkan isu mendesak adalah benih yang baik bagi bangkitnya sebuah gerakan yang potensial untuk menjadi lebih radikal. Pertanyaannya adalah tentang arah yang diambil: apakah mereka menjadi sebuah gerakan yang berusaha untuk memenangkan tuntutan yang lebih besar pada sistim sosial yang berhubungan dengan kekuatan lokal dalam rangka memukul negara dan pendukungnya ataukah gerakan itu hanya menjadi sebuah aktivitas untuk mencari donor dana dari luar negeri. Ideologi post-marxisme mempromosikan arah yang terakhir, sedangkan marxis-me konsisten dengan arah yang pertama.

REVOLUSI SELALU BERAKHIR DENGAN BURUK

Bagi kaum post marxisme, revolusi tidak jauh berbeda dengan persoalan kegagalan sosialisme. Mereka menggembar-gemborkan kemunduran kaum kiri progresif-revolusioner, kemenangan kapitalisme di timur, krisis dalam marxisme, kekuatan Amerika, kudeta dan bantuan dari militer reaksioner. Semua usaha dilakukan untuk memukul kaum kiri progresif-revolusioner. Tidak bosan-bosannya mereka mempropagandakan kebutuhan untuk bekerja di dalam pasar bebas yang dibuat oleh IMF dan Bank Dunia. Semua ini yang disebut pragmatisme. Post-marxisme berperan penting secara ideologis dalam mempromosikan dan mempertahankan apa yang disebut dengan transisi elektoral yaitu lewat Pemilu dan peran militer, di mana perubahan sosial diawali dari sistem Pemilu.

Kebanyakan dari argumentasi post-marxisme didasari pada statistik dan penelitian selektif yang menghasilkan sebuah kesimpulan untuk menang dalam pemilu yang menuju ke perubahan sosial ala neo liberal. Keputusan untuk menjalankan revolusi adalah ketinggalan jaman, mereka memfokuskan semua usaha untuk menang dalam proses Pemilu dan bukan pada pemogokan umum, protes massa atau pemberontakan. Yang akan memobilisir sejumlah massa yang besar-besaran. Mereka mensyukuri kematian komunisme di akhir 1980 dan memaki kebangkitannya kembali di pertengahan 1990. Mereka menggambarkan desakan militer dalam Pemilu tanpa mau menghitung tantangan pada militer dari gerilyawan Zapatista di Caracas, Mexico dan pemogokan umum di Bolivia.

Dengan kata lain, ada keyakinan yang berlebihan akan keberhasilan perjuangan diawali di tingkat lokal maupun sektoral dalam kerangka Pemilu di tengah eksistensi militer dan selanjutnya diharapkan mampu mendorong perubahan, sebuah harapan yang dibangun atas dasar kegagalan dan ketidak mampuan skenario Pemilu untuk memenuhi tuntutan pokok dan kebutuhan rakyat. Pada kenyataanya kaum oportunis ini gagal menghentikan kekejaman militer, membayar kembali gaji para pegawai negeri di Argentina atau mengakhiri bencana yang dialami oleh para petani coklat di Bolivia.

Kaum oportunis post-marxis justru menimbulkan banyak masalah (part of the problem) daripada menciptakan jalan keluar yang baru (part of solution). Sudah kurang lebih 15 tahun sejak negosiasi ke arah transisi dimulai dan semakin lama proses itu berjalan, maka kaum Post-Marxis selalu mengambil kebijakan neo liberal dan mempertahankan kebijakan pasar bebas mereka. Kaum oportunis itu tidak mampu secara efektif untuk menghalangi dampak sosial akibat pasar bebas yang menyengsarakan rakyat, justru mereka yang semakin didesakkan oleh neo liberalisme untuk menerapkan kebijakan baru dan jumlahnya semakin bertambah setiap tahun, kebijakan baru yang semakin mencekik rakyat dalam rangka mempertahanakn kelangsungan hidup kelas penguasa. Kaum post Marxis telah bergerak dari sikap mereka yang pragmatik dalam mengkritik kebijakan neo liberal ke sikap menonjolkan diri sebagai manajer proyek neo- liberal yang efisien dan jujur, dan mereka mampu menjamin kepercayaan para investor dan memadamkan kerusuhan sosial.

Pada waktu yang sama, pragmatisme dari kaum Post Marxis seakan berjalan seiring dengan kencangnya gerak laju neo-liberalisme; dekade 90 an telah menjadi saksi "radikalisme" kebijakan neo liberal, di mana mereka mendesain krisis berkepanjangan terhadap penduduk pribumi dengan cara menawarkan investasi yang mengutungkan dan kesempatan spekulasi kepada bank-bank yang beroperasi secara internasional dan perusahan perusahaan multinasional lainnya. Neo liberalisme telah menciptakan polarisasi struktur kelas yang justru semakin dekat ke paradigma Marxis dibanding pandangan Post-Marxis sendiri. Struktur kelas di Amerika Latin komtemporer jauh lebih jelas, jauh lebih berhubungan dengan kelas politik dan negara, jauh lebih positif dibanding masa-masa sebelumnya. Dalam kondisi seperti ini politik ke arah gerakan revolusioner jauh lebih relevan dibandingkan tawaran pragmatis dari kaum post Marxis.

SOLIDARITAS KELAS DAN SOLIDARITAS NEGARA PENDONOR

Kata solidaritas telah disalahgunakan ke berbagai macam konteks yang tidak mempunyai arti sama sekali. Solidaritas bagi kaum Post Marxis, solidaritas adalah termasuk bantuan luar negri yang disalurkan kepada setiap kelompok yang dianggap berpotensi untuk berkembang. Atau disisi lain, pola pendidikan yang dikemas secara populer ataupun penelitian- penelitian ilmiah yang dilakukan oleh para kaum intelektual professional dengan menjadikan kaum miskin sebagai obyek, itupun dianggap sebagai solidaritas. Dalam beberapa hal, apa yang dilakukan oleh kaum oportunis dewasa ini melalui program bantuan (aid) dan pelatihan (training) yang mereka berikan merupakan ungkapan belas kasihan yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para misionaris Kristen ratusan tahun yang lalu.

Kaum post marxis mencoba menekankan pentingnya "kemandirian" (self-help) dalam rangka menyerang kelompok yang mereka anggap tergantung pada negara dan terperangkap dalam hegemoni negara. Jadi mereka justru berlomba-lomba menggarap kelompok-kelompok yang menjadi korban dari proyek neo-liberalisme, dan mereka bisa menjadi "santa klaus" seperti itu karena mereka menerima subsidi yang cukup besar dari rekan-rekan mereka di Eropa dan Amerika Serikat. Konsep "kemandirian" mengede-pankan ide untuk mengganti pegawai yang digaji dengan tenaga sukarelawan ( volunteer) ataupun profesional bebas yang dikontrak untuk jangka pendek dalam proyek tertentu. Dasar pikiran dalam pandangan kaum Post-Marxis adalah mengubah "solidaritas" menjadi kolaborasi dan subordinasi ke arah ekonomi makro neo liberalisme dengan fokus pandang yang dialihkan dari kelas berada ke arah kaum miskin yang tertindas.

Sebaliknya konsep kaum Marxis tentang Solidaritas kelas adalah solidaritas di antara kaum sekelas dan solidaritas dari kaum tertindas (baik wanita, maupun kaum kulit berwarna) melawan penindas dari dalam maupun luar negeri. Fokus utamanya bukanlah pada donasi yang justru memecah belah kelas dan menjinakkan sekelompok orang untuk waktu tertentu. Fokus dari kaum Marxis terhadap solidaritas adalah pada aksi bersama dari anggota dari kelas yang sama untuk membagi kesulitan ekonomi mereka secara bersama-sama dan berjuang untuk perbaikan hidup semuanya.

Solidaritas kaum Marxis ini melibatkan kaum intelektual yang menulis dan berbicara atas nama gerakan sosial dalam konteks perjuangan, suka duka bersama dan menghadapi konsekuensi politik yang sama. Bandingkan dengan kaum post marxis yang membenamkan diri mereka dalam institusi internasional, seminar-seminar akademik, ya-yasan-yayasan internasional, konferensi internasional dan laporan-laporan yang biro-kratis. Mereka menulis karya mereka dalam bahasa post-modernis yang cuma bisa dimengerti oleh pengarangnya sendiri.

Bagi kaum Marxis, solidaritas adalah pembagian resiko kepada seluruh orang yang terlibat dalam gerakan, dan tidak hanya dengan menjadi komentator yang duduk di belakang panggung yang hanya bisa menanyakan macam macam tapi tidak pernah membela sesuatu apapun. Bagi kaum post Marxis, proyek utama mereka adalah mencari dana bantuan internasional. Sedangkan proyek utama kaum Marxis adalah perjuangan politik dan pendidikan propaganda untuk memperbaiki kesadaran sosial. "Solidaritas" bagi kaum post Marxis adalah terpisah dari kerangka utama semangat pembebasan kaum tertindas, tujuan mereka hanyalah membawa orang-orang hadir di acara training dan seminar mereka. Bagi kaum Marxis, perjuangan bersama harus mempunyai tujuan ke arah masyarakat yang demokratis dan kolektif.

PEMBEBASAN Bandung

Mari Berteman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar