Foto bersama seusai diskusi (29/9/16) |
BANDUNG-Solidaritas
Rakyat untuk Demokrasi (SORAK) mengadakan diskusi bertajuk “Sejarah Penindasan
Rakyat Papua”. Diskusi ini membahas mengenai Sejarah Penindasan Rakyat Papua,
penindasan yang telah dilakukan pemerintah Indonesia terhadap rakyat
Papua. Diskusi dimulai pukul 16.38 di Sekretariat PMKRI, Bandung, Jawa Barat,
pada hari kamis (29/09/2016). Hadir Sebagai pembicara Filep Karma yang
merupakan pejuang kemerdekaan Papua dan Surya Anta dari Pusat Perjuangan Rakyat
Indonesia (PPRI).
Diskusi
ini digelar SORAK sebagai bentuk betapa pentingnya mengabarkan tentang
kenyaatan yang sebernarnya terjadi di Papua. Sebelum diskusi dimulai Joel
dari PEMBEBASAN selaku moderator mengatakan, “selama ini yang kita ketahui dari
media mainstream yang ada mengenai bangsa Papua hanyalah sebuah
pemandangan alam yang indah seperti Raja Ampat contohnya, lagu-lagu daerah
Papua yang syahdu dinyanyikan oleh adik-adik kecil manis Papua, padahal
di balik itu semua ada sebuah kenyataan yang tak pernah dikabarkan di mana bangsa
Papua sedang dijajah”
Baca juga:
-Rakyat Indonesia harus Membangun Konsolidasi Demokratik
- Victor, "Kebebasan Pers di Papua Hanya Omong Kosong"
Ketika
diskusi berlangsung, Filep Karma, mengatakan, “kami menuntut kemerdekaan
bukanlah karena keadilan dan kesejahteraan, tapi kami dianeksasi oleh bangsa
Indonesia melalui Trikora dan kami telah ditipu melalui PEPERA. PEPERA tahun
1969, tidak lah sesuai dengan perjanjian New York, 15 Agustus 1969 pasal 18
butir d, Dimana saat proses pemilihan seharusnya dilakukan dengan one man one
vote telah dilanggar. Pada saat proses PEPERA berlangsung, jumlah total Rakyat
Papua adalah 800.000 jiwa, namun yang dilibatkan dalam proses PEPERA tersebut
hanya berjumlah 1025 orang saja"
“Sejak
tahun 1962, tentara Indonesia telah masuk ke Papua, saat itu kami sudah mulai
ditangkap dan dibunuhi oleh tentara. Pada saat Presiden Soeharto memimpin, tentara
Indonesia berkuasa dengan penuh di Papua. Berbagai macam operasi militer pun
dilakukan. Dari tahun 1965 sampai 1968. Di Papua tak ada kebebasan berbicara,
kalau ada orang bicara, jangankan bicara tentang Merdeka, baru bicara Papua
saja bukan Irian kami sudah dianggap separatis, kami akan ditangkap oleh polisi
ataupun tentara. Selanjutnya, kami dianiaya, bahkan kami akan dibunuh oleh
tentara Indonesia. Ketika, Gus dur menjadi presiden, identitas bangsa kami
dikembalikan dan kami boleh menggunakan nama Papua”
Selanjutnya,
Surya Anta dari Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia (PPRI) mengatakan, “Kita
semua adalah penjajah Papua, dan kalian semua adalah anak penjajah. Bagi siapa
saja yang bersolidaritas untuk Papua, maka mereka bukanlah penjajah.
Lanjut
Surya Anta,“NKRI harga mati, kita selalu dicekokin oleh jargon tersebut,
padahal sudah jelas nama Indonesia sendiri saja diambil dari tulisan George
Samuel Earl yang berjudul Journal Of The Indian Archipelago and Eastern Asia.
Dan Earl sendiri saja bukan orang Indonesia. Ini adalaj bentuk dari Nation
State, dan itu merupakan produk dari kapitalisme. Nation State adalah sebuah
asal usul bangsa, yang berasal dari warisan Kolonial, seperti di Indonesia, ia
lahir dari pemutusan sejarah kolonialisme di Belanda.
“11
tahun yang lalu, ketika saya masih Partai Rakyat Demokratik (PRD). PRD telah
membuat draft mengenai resolusi untuk Papua. Di dalamnya merumuskan bahwa Papua
sebagai sebuah Nation State. Dan perkembangan Nation State kami anggap sebagai
proses akumulasi modal. Proses Nation tersebut terbangun karena (1) penipuan
Papera dan (2) adanya aneksasi yang telah dilakukan oleh Indonesia terhadap
Papua” ujar Surya Anta.
Ketika
sesi tanya jawab berlangsung, salah satu peserta diskusi, Husein, yang
merupakan alumni dari ITB, memberikan sebuah pertanyaan kepada Filep Karma,
“Menurut bapak, apakah itu bangsa Papua?”
“Yang
disebut bangsa Papua adalah siapa pun mereka yang mencintai Papua dan siapa pun
mereka yang berjuang untuk Papua” kata Filep Karma. (Tri S.)
thanks for sharing and inspiring for me.
BalasHapusufabet