Seorang dari massa aksi memberikan bunga kepada anggota polisi yang berjaga dalam aksi memperingati Pepera 1969 di depan BIP, Jalan Merdeka, Bandung, Rabu (02/08) sore. Sumber: Istimewa. |
PembebasanBandung, 4 Agustus
2017--“Papua bukan merah putih, Papua bukan merah putih, Papua... Bintang
Kejora... Bintang Kejora.”
Nyanyian itu didengungkan oleh
puluhan massa aksi yang tergabung dalam Front Rakyat Indonesia untuk West Papua
(FRI-WP) dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Bandung, Rabu (02/08)
kemarin, di depan Bandung Indah Plaza, Kota Bandung. Aksi ini dilakukan untuk
memperingati berakhirnya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 yang
tidak demokratis.
Selama dekade 1960-an, perebutan
wilayah Papua Barat antara Belanda dan Indonesia telah membawa kedua negara ini
masuk ke dalam perundingan yang kemudian dikenal dengan New York
Agreement. Berdasarkan Kesepakatan New York itu, Indonesia akan sah
mengklaim wilayah Papua Barat apabila rakyat Papua sendiri yang memilih
berintegrasi dengan Indonesia melalui pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri,
the rights to self-determination. Kesepakatan New York juga mengatur bahwa
Pepera harus didasarkan pada mekanisme “satu orang satu suara” (one man
one vote).
Namun dalam pelaksanaanya, Pepera
dilakukan secara curang. Aturan Hukum International, HAM, dan demokrasi satu
orang satu suaradirangkum menjadi musyawarah. Dari 809.337 orang Papua yang
mempunyai hak suara, hanya diwakili 1024 orang. Di bawah todongan moncong
senjata militer Indonesia, mereka dipaksa untuk memilih berintegrasi dengan
Indonesia.
Sebelumnya, pada tanggal 30 September
1962 dikeluarkan Roma Agreement, yang pada intinya berisi
bahwa Indonesia harus mendorong pembangunan dan mempersiapkan pelaksanaan Act
of Free Choice di Papua tahun 1969.
Pada praktiknya, Indonesia justru
memobilisasi militer secara besar-besaran ke Papua untuk meredam perjuangan
rakyat Papua yang ingin meraih kemerdekaan. Dimulai dengan Operasi Khusus (Opsus)
yang diketuai oleh Ali Murtopo, yang kemudian diikuti oleh operasi-operasi
militer lainnya. Seperti Operasi Sadar, Operasi Kancil, Operasi Bharatayudha,
Operasi Wibawa, dan Operasi Pamungkas.
Operasi-operasi militer telah telah
mengakibatkan pelanggaran HAM yang luar biasa besar. Penculikan, penyiksaan,
pelecehan seksual sampai pembunuhan terus terjadi selama kurun waktu enam tahun
menjelang Pepera di tanah Papua.
Lebih ironis lagi, pada 7 April 1967,
kontrak karya pertama PT Freeport McMoran, perusahaan tambang milik negara
Amerika Serikat, ditandatangani oleh pemerintah rezim Soeharto. Itu berarti,
klaim atas wilayah Papua sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, dua tahun
sebelum pelaksanaan Pepera. Sehingga dapat dipastikan, apapun caranya dan apapun
alasannya, Papua harus masuk dalam kekuasaan Pemerintah Indonesia.
"Pepera Kill Us"
Dalam aksi kali ini, FRI-WP dan AMP
Komite Kota Bandung, selain bernyanyi, berorasi politik, juga melakukan performance art bertajuk
“Pepera Kill Us”. Tiga orang menggunakan sepatu militer dan sebuah kotak suara
sebagai simbol "Pepera tahun 1969: Referendum dengan todongan senjata
militer". Kemudian bunga, sebagai simbol kemanusiaan, diberikan performer
kepada polisi sebagai bentuk permintaan agar militer Indonesia (TNI-Polri),
organik dan non-organik, ditarik dari seluruh tanah Papua untuk menghentikan
segala bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan oleh negara Indonesia terhadap
Rakyat Papua.
Aksi memperingati 48 tahun Pepera
ditutup dengan pembacaan pernyataan sikap oleh Nofal selaku korlap aksi. Dalam
pernyataannya, massa aksi menuntut: (1) Tutup dan hentikan aktivitas
eksploitasi semua perusahaan multi-national corporation (MNC) milik
negara-negara imperalis--Freeport, BP, LNG Tangguh, Medco, Corindo, dan lain-lain
dari seluruh tanah Papua; (2) Tarik semua militer Indonesia (TNI-Polri) dari
seluruh tanah Papua; (3) Negara harus bertanggung jawab atas kejahatan
kemanusiaan di Papua Barat dan segera menangkap serta mengadili aktor kejahatan
kemanusiaan.
Selanjutnya, massa juga (4) menolak
dengan tegas pembangunan pangkalan TNI-AU Tipe C di Kabupaten Yahukimo dan
Kabupaten Jayawijaya; (5) menuntut dibebaskannya Obby Kogoya, korban peristiwa
pengepungan polisi dan preman di asrama Kamasan, Yogyakarta; (6) PBB harus
membuat resolusi untuk memberikan referendum kemerdekaan bagi bangsa West Papua
yang sesuai dengan hukum Internasional; (7) PBB harus bertanggung jawab untuk
meluruskan sejarah Pepera dan proses aneksasi West Papua ke Indonesia.
Terakhir, mereka menuntut agar (8) rakyat Papua diberi kebebasan dan hak
menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis.
Represi di beberapa tempat
Aksi peringatan 48 tahun Pepera Papua
Barat yang tidak demokratis juga dilakukan di beberapa kota lainnya. Namun, di
kota-kota lain, aksi ini mendapatkan intimidasi dan represi dari pihak
kepolisian. Di Yogyakarta, massa aksi dilarang melakukan long march dan
massa aksi dilarang meneriakan kata “Papua Merdeka”. Di Ternate, FRI-WP
diintimidasi dan dilarang-larang untuk melakukan aksi oleh pihak
kepolisian. (TS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar