Metahistory[1]



“Sejarah dunia tiada lain ialah

tentang kemajuan kesadaran akan kebebasan.”
–G.W.F. Hegel

“The History of all hitherto existing societies

is the history of class struggle.”

–Karl Marx

Metahistori berusaha untuk mengetahui keseluruhan arti yang terkandung dalam sejarah.[2] Para ahli metahistori meyakini bahwa sejarah memiliki maknanya tersendiri. Para sejarawan dengan demikian dapat mengungkap hukum-hukum dan pola-pola yang bermakna dalam sejarah sepanjang waktu. Revolusi intelektual dimulai sejak seorang naturalis asal Inggris, Charles Darwin (1809-1882), dan filosof Jerman Friedrich Nietzsche (1844-1900), menyingkirkan Tuhan dari sejarah—jika bukan mati dibunuh. Yahudi, Kristen, dan Islam menyajikan metahistori-metahistori yang bersifat ketuhanan. Namun setelah tahun 1850, gagasan mengenai peran kehendak dan campur tangan Tuhan dalam sejarah beralih pada gagasan mengenai perjuangan untuk bertahan hidup dalam seleksi alam dan pada kehendak untuk berkuasa Manusia unggul (Ubbermensch/Overman). Walau demikian, natural selection Darwinis dan “keluar dari penjara sejarah”-nya Nietzschean hanya memiliki dua varian pandangan mengenai sejarah, yakni bahwa sejarah memiliki makna, pola, dan hukum-hukum tersendiri. Metahistorian berusaha dan ingin mengungkap (atau menciptakan) Ide Besar di balik sejarah.

Metahistori memberi tekanan pada pola-pola dan hukum-hukum umum. Beberapa metahistoris menyandarkan pada ilmu pengetahuan (science) dan sistem. Kalangan positivis, khususnya filosof Perancis Auguste Comte (1798-1857), meyakini bahwa ilmu sejarah adalah—atau bisa jadi—sebuah sains. Comte juga percaya pada tahapan-tahapan historis. Masa lalu bukan hanya bermakna, namun juga memiliki law-like. Sebagian metahistori—metahistori diturunkan dari teori hukum alam Abad Pertengahan dan Abad Modern awal—pada mulanya bersifat ketuhanan tapi kemudian dapat dicapai oleh akal manusia. Sejarah sering kali berulang, dengan demikian dapat diketahui, dan dapat diungkap. Dalam pengertian ini, metahistori mengubah dan memperluas cara pandang orang Kristen terhadap sejarah menjadi penuh makna dan bersifat linear. Meskipun begitu sejarah bersifat sekuler, dan tidak lagi sakral. Sejarah, bukan lagi Tuhan, yang mengandung desain besar tentang semesta, Ide Besar.


Filosof asal Jerman bernama Hegel merupakan salah seorang metahistorian. Ia mengganti Tuhan dengan istilah Yang Absolut, dan melihat sejarah sebagai proses perkembangan menuju kebebasan. Segala pencarian akan kebenaran dilakukan secara dialektis dimulai dari tesis, lalu timbul darinya anti-tesis, dan akhirnya menghasilkan sintesis. Dialektika merupakan Ide Besar Hegel. Karl Marx mempelajari metode Hegel dan menjadi seorang materialis, melihat kepemilikan material sebagai basis dari kebudayaan dan masyarakat. Marx menganggap seluruh sejarah sebagai sejarah perjuangan antar kelas dan penindasan—tesis—yang menimbulkan revolusi—anti-tesis—dan perampasan kekuatan ekonomi dan politik oleh kelas pekerja (proletar) dari kelas kapitalis yang memiliki alat produksi (borjuis)—sintesis. Perjuangan kelas merupakan gagasan utama Karl Marx. (Ironisnya, istilah revolution, dipinjam dari ilmu fisika, yang pada mulanya secara tidak langsung menyatakan perkembangan yang tidak linear, tapi bersifat siklus). Di Inggris, kalangan yang disebut Whig melihat sejarah sebagai perpanjangan proyek pencerahan dan sebagai kelanjutan dari kemajuan rasional menuju masa depan yang lebih baik. Sejarah berarti kemajuan (progress), untuk individu dan untuk masyarakat. Hidup mesti merupakan perubahan dari yang baik ke yang lebih baik. Kemajuan menjadi Ide Besar pada masa itu.

Pemikir lain mengklaim bahwa seluruh sejarah adalah sejarah biografi. Mereka menekankan kehidupan individual orang-orang hebat, baik pria maupun wanita, yang telah “membuat sejarah” di masa lalu—seperti Henry VIII, Frederick the Great, Joan of Arc, Elizabeth I, dan lain-lain. Beberapa sejarawan lain, menuliskan kebangkitan bangsa dan tokoh-tokohnya—Treitschke dan Droysen di Prusia, Macaulay dan Trevelyan di Inggris, Soloviev dan Kliuchevsky di Rusia, Guizot dan Michelet di Perancis, Parkman dan Bancroft di Amerika Serikat, Soekarno dan Hatta di Indonesia[3]—serta memberi makna kebangsaan pada sejarah.  Mereka lahir, berkembang, lalu mati, sebagaimana makhluk hidup lainnya. Negara-bangsa menjadi perhatian utama dalam dan saat mempelajari sejarah. Sejarah juga menjadi alat untuk mendefinisikan dan menegaskan identitas kebangsaan melalui cerita masa lalu bangsa itu, entah itu nyata maupun khayalan. Secara politis, nasionalisme, liberalisme, dan sosialisme, tampak pada metahistori abad ke-19 setelah revolusi tahun 1848. Beberapa sejarawan mulai mempelajari bangsa-bangsa, individu-individu, dan kelas-kelas sosial. Liberalisme dan sosialisme juga menciptakan narasi utama mengenai kemajuan dan emansipasi revolusioner.

Sejarah dan ingatan sesungguhnya berhubungan erat. Kita tidak boleh amnesia jika kita ingin berguna hari ini. Kelemahan ingatan (the memory hole—istilah yang diperkenalkan oleh penulis asal Inggris, George Orwell [1903-1950] untuk mengeliminasi sejarah yang tidak menyenangkan) dapat merusak kebenaran dan identitas sebagaimana fungsinya.
Sejak 1900-an, metahistori berubah menjadi ideologis dan irasional. Sigmund Freud (1856-1939) dan Carl Gustav Jung (1875-1961) telah membuka dunia bawah tanah ketidaksadaran dan wilayah irasional dengan psikoanalisa dan psikohistoris. Seluruh sejarah adalah sejarah neurosis, akibat dari perjuangan terus menerus menekan dorongan ketidaksadaran, keinginan, dan hasrat, khususnya seks. Jung menafsir sejarah dengan istilah pola dasar yang tetap dalam bawah-sadar kolektif. Mimpi menjadi bukti atau petunjuk untuk menganalisa kondisi psikis. “Teka-teki sejarah,” tulis seorang Freudian, Norman O. Brown, “bukan terletak pada akal tapi hasrat, bukan pada kerja melainkan cinta.”[4] Psikoanalisa menyediakan jalan keluar dari sejarah, kebebasan dari beban tekanan masa lalu, menyublimasi insting Eros dan Thanatos, cinta dan kematian, dan pembebasan dari represi.


Metahistori kemudian berjalan menjadi lebih spekulatif. Segera sesudah Perang Dunia I, Oswald Spengler (1880-1936) menulis karya babonnya, Decline of the West (yang ia diktekan pada sebuah mesin), menggambarkan “hukum alam” dari bangkit dan runtuhnya peradaban, dan apa yang ia istilahkan sebagai kebudayaan Apollonian, Magian, dan Faustian dalam peradaban Barat. Dia menerbitkan dua jilid buku yang hampir sukar untuk dibaca. Bagi Arnold Toynbee bangkit dan runtuhnya peradaban itu mengacu pada kaidah tantangan dan respon terhadap krisis. Keduanya mencari teori untuk menjelaskan keruntuhan Barat setelah perang yang mengerikan. Begitu pun setelah Perang Dunia II, teolog Reinhold Niebuhr (1897-1971) mengemukakan pandangan Protestan modern mengenai sejarah dengan mengembalikan posisi Tuhan sebagai yang memiliki kuasa untuk menciptakan sejarah dan “cerita seseorang” tentangnya, penuh dengan ironi dan paradoks. Niebuhr juga menempatkan arti atau makna di luar sejarah dan dalam agama.

Sayangnya, beberapa metahistori mengembangbiakkan gerakan totalitarianisme. Metahistori menyajikan fondasi dua kediktatoran besar: Nazi di Jerman dan Soviet di Rusia. Pemimpin Jerman, Adolf Hitler, dan pemimpin Soviet, Joseph Stalin, mendasarkan “negara-polisi” mereka pada ras dan kelas sosial, anti-semitisme dan marxisme. Para pemikir rasis di Jerman mengeksplor sejarah dengan apa yang mereka namakan sebagai ras Arya dan memprediksi dominasi bangsa Arya di masa depan terhadap ras non-Arya. Para pemikir Marxis di Rusia mereduksi seluruh sejarah untuk merumuskan perjuangan kelas. Anti-semitisme dan pertentangan kelas mendominasi semua pemikiran dan mereduksi individu menjadi budak-budak dalam pertandingan catur yang mematikan. Orang-orang dibunuh dalam kamar gas atau gulag karena mereka stood in the way of history. Aryanisme dan anti-semitisme menjadi Ide Besar di balik Sosialisme Nasional Jerman. Komunisme adalah Ide Besar di balik Uni Soviet.


Nazi dan Marxis kerap kali menulis ulang, bahkan mengubah sejarah agar sesuai dengan garis partai mereka, bukan demi kebenaran. Ras Arya dan kelas pekerja menjadi pahlawan kolektif dalam sejarah “resmi.” Para sejarawan mengkritik pendekatan “resmi” tersebut bila dilihat dari akibat yang ditimbulkannya. Sejarawan pada masanya diwajibkan menulis sejarah sesuai dengan ideologi partai, Nazi ataupun komunis. Jika tidak, mereka (sejarawan) akan dilabeli “dangerous people”—sebagaimana dikatakan oleh mantan pemimpin Soviet, Nikita Khrushchev.


Contohnya, Marc Bloch (1886-1944), sejarawan dan medievalist asal Perancis, yang telah membantu menemukan jurnal Annales dan menjadikan sejarah sebagai ilmu sosial. Menurutnya metahistori secara harfiah telah membunuh sejarah. Tanpa berlama-lama, Gestapo (polisi rahasia) menyiksa dan membunuh Bloch karena karyanya dengan Pemberontakan Perancis selama Perang Dunia II. Jutaan orang lainnya kehilangan nyawa karena gagal menyesuaikan diri (berkompromi) dengan standar metahistori atau berani mengritik metahistori yang berlaku, sebagaimana didefinisikan oleh pimpinan Nazi dan Soviet.


Akan tetapi, metahistori tidak hanya sekedar menimbulkan aneka ideologi. Metahistori menumbangkan ideologi-ideologi juga. Marx, Darwin, dan Freud, merupakan orang-orang yang menghapus elemen-elemen mistis (demystifiers, yang mendemistifikasi) sejarah. Mereka menyimpulkan bahwa sejarah bukanlah apa yang tampil sebagaimana adanya, sederhana, kisah mengenai individu-individu yang membuat pilihannya sepanjang waktu. Sejarah merupakan misteri yang mesti dibongkar. Dan mereka telah membongkar misteri itu. Mereka merupakan orang-orang yang realis, bukan “romantik”. Sejarah sesungguhnya adalah a struggle determined by single force—sebuah perjuangan untuk menghapus kelas yang timpang dan tidak adil, perjuangan untuk memungkinkan spesies terkuat tetap bertahan hidup, serta perjuangan untuk menekan atau menghaluskan hasrat seksual dengan menciptakan peradaban. Manusia bukanlah entitas independen, tetapi bagian dari berbagai kelompok, but members of groups. Kelompoklah yang menciptakan sejarah. Menjelaskan sejarah sebagaimana nyatanya berarti menelanjangi bahasa yang menekan atau menindas, yang digulirkan oleh kalangan elit dan kelompok lain yang berkuasa, untuk mengetahui dan mengungkap kenyataan dan arti sebenarnya di balik wacana yang ilusif.


Metahistorian abad ke-20 beralih pada aspek linguistik—mengacu pada para filsuf, mereduksi sejarah menjadi semacam permainan bahasa (language game). Postmodernisme, di samping mendekontruksi the language of power, juga menciptakan istilahnya sendiri untuk menggantikan metafor organik dan mekanik dari masa lalu—tubuh, “yang lain,” kolonial, imperial, ruang, diskursus, narasi, kuasa, dan teks—untuk menamai beberapa pilihan kata. Dengan menganggap sejarah hanya sebuah teks, posmodernis “mengganggu” kebanyakan sejarawan dengan relativisme, skeptisisme, dan permainan bahasa mereka. Walau demikian, mereka juga berkontribusi memberi wawasan yang bernilai mengenai pentingnya bahasa dalam ilmu sejarah dan dalam keahlian sejarah itu sendiri.

Belum lama ini, contoh dari metahistori meliputi/melibatkan biologi dan genetic evolusioner. Beberapa kalangan menyebutnya dengan istilah memetics. Dengan teori ini, kebudayaan berkembang dalam proses seleksi alam yang “menghadiahkan” meme yang tahan lama (cultural gene, or viruses).  Meme adalah bagian dari kebudayaan seperti halnya gagasan, nilai, atau mode berpakaian. Beberapa di antaranya mudah dimengerti dengan segera. Beberapa lainnya hilang/punah dengan cepat. Sejarah berkembang secara organis dan memiliki polanya tersendiri. DNA menentukan hasil dari sejarah sebagaimana evolusi kultural. Evolusi kultural menyerupai logika Darwinian. Sejarah memiliki pola inti dan dapat dipelajari seperti halnya mempelajari sains. Seorang pemikir spekulatif menyimpulkan bahwa sejarah alam maupun sejarah manusia melibatkan “the playing of ever-more-numerous, ever larger, and ever-more-elaborate non-zero-sum [winning does not necessarily mean losing, and vice versa] games.”[5]

Contoh lain dari metahistori yakni konsep penting mengenai “Jihad versus McWorld,” yang mana menafsirkan sejarah hari ini sebagai perjuangan antara kekuatan bangsa-bangsa dan perang suci (Jihad), di satu sisi, serta kekuatan integrasi global dan korporasi internasional di sisi lain. Serangan mematikan pada World Trade Center New York dan Pentagon pada 11 September 2011, merupakan contoh dari perjuangan di atas. Maka pecahlah teror dan kekerasan di Timur Tengah, dari Afghanistan dan Irak hingga Gaza dan Lebanon. Gagasan kebebasan dan demokrasi mengakibatkan “Pencerahan” berhadapan dengan milisi bom bunuh diri dan kelompok teroris mematikan, Al-Qaeda. “Perang terhadap teror” berhadapan dengan “kematian Amerika.”

Pada banyak peristiwa, metahistori, yang pada mulanya adalah upaya filosofis untuk mengisi kehampaan metafisis yang disebabkan kematian Tuhan pada abad ke-19, berubah menjadi spekulatif. Sisi baiknya, metahistori membantu para sejarawan dan pembaca melihat makna yang lebih besar atau makna umum dari sejarah. Sisi buruknya, metahistori menyajikan justifikasi ideologis untuk totalitarianisme dan teror. Orang-orang yang berkepentingan (politicians) mendistorsi sejarah untuk menjustifikasi nasionalisme, genosida, dan pemusnahan etnis. Belum tuntas urusan kita dengan para penyederhana sejarah yang telah menggunakan sejarah untuk menopang kepentingan ideologis mereka, metahistori membiakkan milisi radikal dan sukarelawan bom bunuh diri atas nama Ide Besar.

Dalam pada itu, para sejarawan telah mencoba menganalisa, ketimbang menyederhanakan narasi, kisah masa lalu tanpa memuat asumsi umum mengenai makna sejarah. Kadar positivistik sejarah jadi agak berkurang, dan pendekatannya jadi lebih empiris, lebih probabilistik, dan lebih pragmatis. Para sejarawan dan metahistorian menjalani cara masing-masing yang terpisah. “Untuk menganalisa fenomena yang kompleks,” kata seorang peneliti sejarah kontemporer, “teori tunggal, betapa pun kaya dan bervariasi, akan tetap kurang memadai. Peristiwa-peristiwa kompleks biasanya memiliki penyebab yang tidak tunggal (multiple causes).”[6] Era metahistori dan teori-teori spekulatifnya mengenai masa lalu tampaknya akan kita tinggalkan. Namun tetap saja akan ada orang yang mengklaim dirinya memahami satu hal besar yang memberi makna pada sejarah. Terorisme dan “perang terhadap teror,” secara sederhana, merupakan versi terakhir dari Ide Besar yang mendasari metahistori.***


[1] Diterjemahkan Zulfi Saeful dari Robert Chadwell Williams, The Historian’s Toolbox; A Student’s Guide to the Theory and Craft  of History (New York: M.E.Sharpe, 2007), 26. Angka footnote yang ditulis miring merupakan tanda bahwa footnote itu ditambahkan oleh penerjemah.
[2] Hayden White menggunakan istilah metahistory dalam bukunya Metahistory: The Historical Imagination in Nineteenth-century Europe (Baltimore: John Hopkins University Press, 1973). White mendefinisikan sejarah sebagai “a verbal structure in the form of a narrative prose discourse” dan “a specifically western prejudice by which the presumed superiority of modern, industrial society can be retroactively substantiated” (ix, 2). Beberapa sejarawan menerima pandangan White tersebut.
[3] Dua tokoh terakhir ini ditambahkan oleh penerjemah.
[4] Norman O. Brown, Life Against Death (Middletown, CT: Wesleyan University Press, 1957), 16.
[5] Robert Wright, Nonzero: The Logic of Human Destiny (New York: Vintage, 2000), 6.
[6] Victoria E. Bonnell, Roots of Rebbelion: Workers Politics and Organizations in St. Petersburg and Moscow, 1900-1914 (Berkeley: University of California Press, 1983), 17.


PEMBEBASAN Bandung

Mari Berteman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar